*Sastrawan dan Dosen Tetap di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Sam Ratulangi Manado
PENDAHULUAN
Ada sementara pendapat mengatakan bahwa kita orang Minahasa harus berterimakasih kepada Kompeni-Belanda karena tanpa kehadiran mereka, kita tidak akan pernah menyadari betapa pentingnya pendidikan dan akan terus terpenjara dalam kebodohan dan ketidakberadaban.
Sederhananya, pendidikan di Minahasa adalah produk dari rasa belas kasihan kompeni-belanda. Dan ini hanya mungkin karena pada dasarnya orang minahasa tidak pernah peduli pada pendidikan.
Dalam perkembangannya yang kemudian, logika berpikir seperti ini pula sangat mempengaruhi pola pemikiran umum orang minahasa yang hidup di bawah cengkraman kuku garuda pancasila -- Negara kesatuan Republik Indonesia, bahwa kita mesti bersyukur dan berterima kasih karena tanpa adanya NKRI sekarang kita pasti masih akan terus terbelenggu di bawah kolonialisme dan imperialisme belanda, sebab di bawah kolonialisme dan imperialisme ini kita pasti akan terus dalam ketidakberadaban, dibodohi dan diperas tenaganya. Tanpa menjadi bagian dari NKRI, orang minahasa tidak akan mendapat pendidikan yang lebih baik.
Bila kita kaji lagi lebih dalam jalinan alur pemikiran yang menjadi dasar aprioritas masyarakat umum di minahasa seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka kita akan menemukan sebuah tesis sederhana yang justru menjadi hulu logika berpikir umumnya orang minahasa selama beberapa waktu belakangan ini.
Tesis ini mengatakan bahwa orang minahasa pada dasarnya bodoh dan tidak beradab jadi wajar kalau mereka diperhamba, dengan diperhamba mereka pantas diajari pengetahuan-pengetahuan secukupnya saja. Pengetahuan-pengetahuan secukupnya ini akan mempermudah mereka berkomunikasi dengan para tuannya sehingga dapat melaksanakan titah-titah mereka dengan benar.
Pertanyaannya adalah benarkah orang-orang minahasa sebegitu bodoh dan dungunya sampai sepanjang sejarah keberadaannya tidak pernah dapat menjadi beradab dengan paling tidak memperhatikan soal pendidikan bagi anak cucu mereka, sehingga musti menunggu datangnya para penjajah dari eropa untuk menyuntikan kesadaran akan pendidikan serta harus hidup di bawah kendali Republik Indonesia untuk mendapatkan pengetahuan ?
PAPENDANGAN : PUSAT PENDIDIKAN PARA TONA’AS
Apabila kita telusuri kembali ke belakang melalui leluri para leluhur maupun laporan-laporan para misionaris eropa maka akan kita dapati kenyataan bahwa sebenarnya para leluhur kita justru telah lama menaruh perhatian penting terhadap proses pendidikan dan pembelajaran.
Ini dapat dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa dahulu kala di minahasa(baca : malesung) telah dikenal semacam lembaga pendidikan yang disebut papendangan. Para pengajarnya yang terdiri dari Para tonaas dan walian di sebut mapendang, sedangkan para pelajarnya disebut pahayoan. Pelajaran-pelajarannya disebut papendang (Taulu,1980:3).
Tujuan dari lembaga pendidikan ini adalah untuk mendidik putra-putri keturunan lumimuut dan toar agar dapat memimpin dirinya beserta masyarakat disekelilingnya dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup baik dari alam yang ganas maupun dari gangguan bangsa-bangsa lain disekitarnya.
Mata pelajaran yang diberikan dalam lembaga pendidikan ini antara lain pamanuan yaitu segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan penataan Negara, manguma yaitu segala hal yang berkaitan dengan pertanian, mangasu yaitu segala hal yang berhubungan dengan perburuan, wawantian atau kanaramen yaitu segala hal yang berkaitan dengan adat istiadat, tumani yaitu segala hal yang berkaitan dengan pembukaan pemukiman baru, paposanan yaitu segala hal yang berkaitan dengan upacara-upacara dan kepercayaan, pangundaman yaitu segala hal yang berhubungan dengan soal pengobatan, dan yang tak lupa juga diajarkan adalah ketrampilan bela diri dan perbintangan(Taulu,1980:3).
Kalau memperhatikan keseluruhan pelajaran yang didapatkan para pelajar atau pahayoan ini, kita akan menemukan bahwa pelajaran-pelajaran ini mengarah pada usaha untuk meningkatkan potensi tubuh, pikiran dan perasaan.
Melalui pelajaran-pelajaran ini, tubuh sang pelajar akan dilatih untuk bertahan hidup di alam bebas, pikirannya akan dilatih untuk menganalisis rincian-rincian sekaligus memadukan keseluruhan perspektif tentang segala hal, perasaannya akan dilatih untuk menyatu dengan semesta.
Kualitas-kualitas inilah yang oleh para tetua di sebut paeren telu atau tiga yang diperlukan yaitu ngaasan, mempunyai otak, niatean, mempunyai hati, dan mawai, mempunyai kekuatan. Ketiga kualitas inilah yang dipakai untuk mengukur seseorang pantas untuk menjadi tonaas atau tidak (Supit,1986:60).
Adapun mekanisme pendangen atau pemberian pelajaran ini dilakukan dengan cara para pelajar atau pahayoan ini tinggal menetap bersama pengajar atau mapendang yang terdiri dari para tonaas dan walian.
Pada pagi hingga siang hari mereka secara bersama melakukan aktivitas-aktivitas yang bersifat praktis dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti bertani dan berburu. Sore harinya mereka menerima pelajaran khusus dari para pengajarnya.
Selama melakukan pekerjaan , pada pagi sampai siang hari ini, mereka juga sekaligus mempraktekan pelajaran-pelajaran yang telah mereka terima langsung di bawah pengawasan pengajarnya.
Ini dapat dibuktikan dalam tulisan Graafland yang berjudul “De Minahasa I” :
“… Er waren hier en daar Walian’s (en Tonaas), die jongelingen in huis hadden als leerlingen. Zij moesten bij dag huis –en tuinwerk verrichten voor hunnen leermeester, en’s avonds en een gedeelte van den nacht, ontvingen zij onderwijs in demysterien van den godsdienst.
In het noordelijk gedeelte der minahassa waren het uitsluitend of meestal mannen, bij de zuidelijken bij voorkeur de vrouwen, die deze bediening vervulden. Die geldt van de eerste
Te noemen klasse; de andere klassen waren meest mannen.
De noordelijken veerdeelen de priersters in vier klassen, bij de zuidelijken hebben wij daarvan slechts de beide eerste gevonden…”
Artinya :
“di sana-sini terdapat walian-walian dan tonaas-tonaas yang menaruh pemuda-pemudi di dalam rumahnya, sebagai siswa-siswa. Pada waktu siang mereka mesti melakukan pekerjaan rumah atau kebun untuk guru mereka, lalu pada waktu sore dan sebagian malam, mereka menerima pelajaran tentang ilmu-ilmu kegaiban, agama dan lain-lain ilmu pengetahuan.
Di bagian utara Minahasa, dalam penerimaan siswa diutamakan atau terbanyak lelaki, sedang di bagian selatan terutama kaum perempuan yang diterima untuk melakukan pekerjaan walian. Ini adalah berlaku pada suatu kelas mula-mula. Kelas yang berikut, yang diterima diutamakan lelaki.
Pada bagian utara membagi pangkat walian atas empat tingkat, sedang pada bagian selatan, hanyalah kedua bagian pertama (Taulu,1980:3-5).
Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat juga mengetahui bahwa pendidikan di Minahasa ternyata tidak semata-mata diprioritaskan kepada laki-laki tetapi juga kepada perempuan bahkan di daerah selatan (Tontemboan) perempuan menempati prioritas khusus untuk dididik menjadi walian.
Setelah proses belajar selesai dilaksanakan, mereka kemudian diuji oleh dewan penguji yang terdiri dari para tonaas dan walian serta tua-tua walak. Dalam hal ini mereka diuji kecakapan dan ketangkasan menghayati serta mempraktekan pelajaran yang telah mereka terima tesebut.
Ujian ini dilakukan di atas sebuah meja panjang, berukuran 4 meter dengan lebar setengah meter yang disebut la’lir. Caranya dilakukan melalui media suara, gerak dan mimik. Mereka antara lain harus melakonkan cara pemujaan terhadap mamarimbing atau lumimuut. Mereka juga harus mampu menceritakan sejarah para opo (Taulu,1980:2).
Pengetahuan akan sejarah leluhur atau para opo menjadi salah satu syarat mutlak ujian, agar inti pengetahuan para tetua ini tidak diketahui atau terbuka kepada orang-orang dari luar (Rumengan,2010:143-144).
Bahkan ketika pendeta J.F.G.Riedel bertanya-tanya kepada para orang tua di Tomohon pada pertengahan abad XIX maka ceritera yang betul mengenai manusia pertama di Minahasa kemudian disembunyikan. Ceritanya didongengkan dan dibuat campur aduk hingga tidak sama lagi dengan silsilah yang teratur menurut turunan para walian maeres atau imam-imam khalayak ahli silsilah orang-orang makalesung pada zaman dahulu(Palit,1980:II-III).
Bertolak dari uraian di atas kita kini dapat meluruskan kekeliruan pemahaman yang umumnya diyakini oleh banyak orang minahasa sekarang bahwa kesadaran akan makna pendidikan di minahasa bukanlah pemberian ataupun hadiah dari kompeni-belanda dan para misionaris eropa sebaliknya , kompeni belanda dan para misionaris itu sangat diuntungkan dengan adanya tradisi berpengetahuan di Minahasa.
Karena dalam mendekonstruksi nilai-nilai pembentuk identitas minahasa mereka telah mengadopsi pola pendidikan papendangen menjadi sistem anak piara dan murid stelsel yang ternyata amat berperan dalam proses pengkristenan di minahasa(Graafland,1991:296-297).
Masa perkembangan Kristen di Minahasa ini telah mendorong berkembang pesatnya pendidikan modern. Melalui sekolah-sekolah yang dibiayai oleh yayasan-yayasan Kristen ini lahir para guru dari Minahasa yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara dan membawa pencerahan untuk melawan ketidakadilan para penjajah.
PENUTUP
Terlepas dari usaha untuk menemukan kembali landasan serta asal-usul sejarah pendidikan di minahasa ini, kita pun mesti punya kebesaran hati mengakui bahwa para misionaris dan pemerintah belanda telah mengantar kita ke gerbang pengetahuan modern.
Ini membuktikan bahwa pada dasarnya orang minahasa adalah orang yang gemar mencari pengetahuan. Semangat dan tindakan mencari pengetahuan ini pun tidak semata-mata karena tradisi atau kebiasaan belaka, tetapi benar-benar didasari atas pertimbangan untuk bertahan hidup. Artinya para leluhur kita dahulu selalu belajar untuk tidak ketinggalan zaman.
Pada waktu itu mereka telah belajar, bahwa mereka pun bisa menjadi seperti penakluk-penakluk dari atas angin itu dengan cara mempelajari pengetahuan mereka. Pengetahuan yang telah mengantar mereka untuk datang ke tanah lumimuut dan toar ini. Dengan pengetahuan ini, mereka tidak lagi akan bersikap pasif dan menunggu, tetapi akan menjadi aktiv dan penuh inisiatif.
BAHAN BACAAN
Graafland, N. Minahasa. Negeri, rakyat , dan budayanya . Jakarta : Grafiti.
1991.
Palit, I.W. Manusia Pertama Minahasa. Tomohon : GMIM, 1980.
Rumengan, P. Hubungan Fungsional : Struktur Musikal-
Aspek Eksramusikal Musik Vokal Etnik Minahasa. Volume I. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 2010.
Supit, B. Minahasa. Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai
Gelora Minawanua. Jakarta : Sinar Harapan. 1986.
Taulu, H.M. Sejarah Persekolahan Daerah. Manado :
Yayasan Membangun, 1980.
==================================================================================================