MARI JO TORANG BAKU BEKENG PANDE

Kita Sadar Kalo Kita pe Pengetahuan tentang Tareran dan Minahasa Umumnya masih kacili skali...soitu kita mulai belajar dan cari sumber sumber yang bisa membantu...dibawah ini adalah sebagian informasi yang kita dapat yang kita ingin berbage deng samua kawanua...

Monday, December 6, 2010

Arti Kata Kawanua

(Cerita Taranak dan Walak Minahasa)
Oleh : Jessy Wenas
Map of the Minahasa 1873
Map of the Minahasa 1873
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing:
  1. Makarua Siouw
  2. Makatelu Pitu
  3. Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari:
  1. Tountumaratas
  2. Tountewu
  3. Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni:
  1. Tounsea and
  2. Toundano.
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
  1. Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
  2. Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
  1. Tondano Touliang,
  2. Tondano Toulimambot and
  3. Kakas-Remboken
Watu Pinawetengan 1890
Watu Pinawetengan 1890
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:

  1. Ro’ong atau negeri,
  2. Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)
Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:
  1. Ro’ong atau negeri
  2. Taranak atau penduduk
Ro’ong itu sendiri memiliki unsur:
  1. Wale, artinya rumah dan
  2. Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut. Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.
Source: www.kawanuausa.org

Friday, December 3, 2010

ARTI MARGA ORANG MINAHASA

Daftar dan Arti Fam Orang Minahasa
A
Abutan : Pembersih
Adam : Tenang
Agou : Anoa
Akai : Penjaga
Aling : Pembawa
Alui : Pelipur lara
Amoi : Teman sekerja
Andu : Tempat bersenang
Anes : Tawakal
Angkouw : Keemasan
Anis : Penghalau
Antou : Nama kembang
Arina : Tiang tengah
Assah : Pembuka jalan
Awondatu : Yang dikehendaki
Awui : Senang
B
Batas : Pemutus
Bella : Pasukan
Bokau : Bibit emas
Bokong : Mengikat
Bolang : Penangkap ikan
Bolung : Perisai
Bororing : Pembuat roreng
Boyoh : Pendamai
Buyung : Penurut
D
Damongilala: Benteng
Damopoli : Jujur dan adil
Dapu : Mematahkan
Datu : Pemimpin
Datumbanua : Kepala Walak
Dayoh : Karunia
Dededaka : Panah lidi hitam
Dendeng : Suara yang terang
Dengah : Hakim
Dewat : Menyeberangi
Dien : Dihiasi
Dimpudus : Cerdik kepalanya
Dipan : Ukuran depa
Dompis : Pekerja baik
Dondo : Prinsip
Dondokambei : Prinsip tetap
Donsu : Jimat penolak
Doodoh : Penggerak
Doringin : Penari
Dotulong : Pahlawan besar
Dumais : Menggenapi
Dumanauw : Pemenang
Dumbi : Didepan
Dungus : Berkedudukan
Dusaw : Pembuka
E
Egam : Menjaga
Egetan : Lonceng kecil
Ekel : Lirikan
Elean : Arah barat
Eman : Dipercaya
Emor : Lengkap
Endei : Dekat
Engka : Pegang
Enoch : Pilihan
Ering : Kurang besar
G
Ganda : Bambu besar
Gerung : Bunga ukiran
Gerungan : Bunga-bunga ukiran
Gigir : Mengikis rata
Gimon : Rupa yang indah
Girot : Pemutus
Goni : Cerdik
Goniwala : Cerdik akal
Gonta : Langkah
Gosal : Timbunan
Gumalag : Menanduk
Gumansing: Pembujuk
Gumion : Pegangan
I
Ilat : Menunggu
Imbar : Yang dibuang
Inarai : Baju jimat
Ingkiriwang : Dari angkasa
Inolatan : Pegang tangan
Intama : Pembawa
Item : Hitam
K
Kaat : Penglihatan
Kaawoan : Mampu kerja
Kaendo : Teman mapalus
Kaeng : Sempit
Kaes : Menyiram
Kainde : Ditakuti
Kairupan : Kekuatan
Kalalo : Amat berani
Kalangi : Dari langit
Kalempou : Mengunjungi
Kalempouw : Kawan baik
Kalengkongan: Tepat berjatuhan
Kalesaran : Pusat segala usaha
Kalici : Mempesona
Kaligis : Sama keluarga
Kalitow : Tertinggi
Kaloh : Sahabat setia
Kalonta : Perisai kayu
Kalumata : Pedang perang
Kamagi : Bunga hias
Kambey : Bunga hias
Kambong : Obor
Kamu : Pegang teguh
Kandio : Amat kecil berarti
Kandou : Bintang pagi
Kapantouw : Pembuat
Kaparang : Pandai mengukir
Kapele : Amat tegas
Kapoh : Pemuja
Kapoyos : Dukun pijat
Karamoy : Penunjuk
Karau : Antara
Karinda : Kawan serumah
Karundeng : Pengusut
Karuyan : Di kejauhan
Karwur : Subur
Kasenda : Kawan sehidangan
Katopo : Keturunan opo
Katuuk : Pemegang rahasia
Kaunang : Cerdik
Kawatu : Pendirian teguh
Kawengian : Bintang sore
Kawilarang : Diatas terbuka
Kawulusan : Benteng
Kawung : Tersusun keatas
Kawuwung : Berkelebihan
Keincem : Penyimpan rahasia
Kekung : Pedang perisai
Keles : Bayi
Kelung : Perisah
Kembal : Agak lemah
Kembau : Kurang kuat
Kembuan : Sumber
Kenap : Genapkan
Kepel : Penakluk
Kerap : Seiring
Kere : Testa
Kesek : Penuh sesak
Kewas : Tumbuhan
Khodong : Kecil, menentukan
Kilapong : Batu kilat
Kindangen : Yang diberkati
Kirangen : Dimalui
Kiroiyan : Pengembara
Kodongan : Mengecil
Kojongian : Penggeleng kepala
Koleangan : Pemain
Kolibu : Banyak bekerja
Koloday : Saudara lelaki
Koly : Suka kerja
Komaling : Pembawa
Komaling : Penghormat
Kondoi : Lurus kedudukannya
Kontul : Kerja sendiri
Kopalit : Pendamai
Koraah : Suka panas matahari
Korah : Suka panas matahari
Korengkeng : Penakluk
Korompis : Hasil kerja yang baik
Koropitan : Penghukum
Korouw : Perkasa
Korua : Membagi dua
Kotambunan : Penimbun
Kountud : Kerja sendiri
Kowaas : Penggemar barang kuno
Kowonbon : Tahan uji
Kowu : Penempah
Kowulur : Ke gunung
Koyansouw : Pengipas
Kuhu : Menampakkan
Kulit : Kecukupan
Kullit : Cukup
Kumaat : Melihat
Kumaunang : Penyelidik cerdik
Kumayas : Membongkar
Kumendong : Pengumpul tenaga
Kumolontang : Melompat keliling
Kumontoy : Lurus hati
Kupon : Diharapkan
Kusen : Penutup
Kusoi : Cerdik
L
Lala : Berjalan
Lalamentik : Semut api
Lalowang : Perlumba
Lalu : Pendesak
Laluyan : Melintasi
Lambogia : Paras jernih
Lampah : Tak seimbang
Lampus : Tembus
Lanes : Kurang semangat
Langelo : Menapis
Langi : Tinggi
Langitan : Tinggian
Langkai : Dihormati
Languyu : Tanpa tujuan
Lantang : Berharga
Lantu : Penentu
Laoh : Manis
Lapian : Teladan
Lasut : Pemikir cerdas
Legi : Menipis
Legoh : Penelan manis pahit
Lembong : Pembalas budi
Lempas : Kedudukan
Lempou : Kunjungan
Lengkey : Dimuliakan
Lengkoan : Penghalang
Lengkong : Pendidik
Lensun : Diharapkan
Leong : Main
Lepar : Tujuan
Lesar : Halaman
Lewu : Tersendiri
Liando : Penimbang
Limbat : Berganti
Limbong : Ingat budi
Limpele : Penurut
Lincewas : Tumbuhan obat
Lintang : Bunyi-bunyian
Lintong : Pusat persoalan
Liogu : Jernih
Litow : Tinggi
Liu : Bijaksana
Liwe : Air mata
Loho : Perindu
Loing : Pengawas
Lolombulan : Bulan purnama
Lolong : Bulan
Lomboan : Lemparan keatas
Lompoliu : Pengajar
Lonan : Ramah
Londa : Perahu
Londok : Tinggi
Longdong : Penjaga
Lontaan : Pembuka jalan
Lontoh : Tinggi keatas
Losung : Pendesak
Lowai : Bayi lelaki
Lowing : Mengawasi
Ludong : Kepala negeri
Lumanau : Biasa berenang
Lumangkun : Penyimpan rahasia
Lumatau : Berpengetahuan
Lumempouw : Meliwati
Lumenta : Terbit
Lumentut : Bukti
Lumi : Meminggir
Lumingas : Membersihkan
Lumingkewas : Tepat dlm segala hal
Lumintang : Menunggalkan
Luminuut : Berpeluh
Lumoindong : Melindungi
Lumondong : Berlindung
Lumowa : Meliwati
Lumunon : Muka bercahaya
Luntungan : Memiliki jambul
Lutulung : Penolong
M
Maengkom : Penakluk
Maengkong : Mendidik
Mailangkai : Yang ditinggikan
Mailoor : Disenangi
Maindoka : Kecukupan
Mainsouw : Bersaudara 9
Mait : Obat pahit
Makadada : Memuaskan
Makal : Penutup lubang
Makaley : Melindungi/menutup
Makaliwe : Air mata
Makangares : Mengharap
Makaoron : Mengulung musuh
Makarawis : Puncak gunung
Makarawung : Tinggi usaha
Makatuuk : Hidup sentosa
Makawalang : Orang kaya
Makawulur : Dihormati
Makiolol : Selalu ikut
Makisanti : Dengan pedang
Malingkas : Tetap berada
Mamahit : Dukun obat pahit
Mamangkey : Pengangkat
Mamantouw : Penubuat
Mamanua : Pembuka negeri
Mamarimbing : Pemberi kesuburan
Mamba : Ditetapkan
Mambo : Penetapan
Mambu : Pemberi supa
Mamengko : Pemberi teka-teki
Mamentu : Pemberi rasa
Mamesah : Pembuka rahasia
Mamoto : Penjelasan
Mamuaya : Pemberi
Mamuntu : Mencapai puncak
Mamusung : Penangkal
Manalu : Ditingkatkan
Manampiring : Membuat jalan
Manangkod : Menahan musuh
Manapa : Pertanyaan
Manarisip : Membetulkan
Manaroinsong: Sumber air
Manayang : Pergi jauh
Mandagi : Menghiasi bunga
Mandang : Melambung tinggi
Mandey : Pandai
Manebu : Dewa peninjau
Manese : Bertindak dahulu
Mangare : Minta dibujuk
Mangempis : Merendahkan diri
Mangindaan : Tahan uji
Mangkey : Angkat
Mangowal : Pemancung
Mangundap : Berbahaya
Manimporok : Ke puncak
Manopo : Bersama datuk (opo)
Manorek : Mengganggu
Mantik : Meneliti/menulis
Mantiri : Pembuat benda halus
Mantoauw : Nubuat
Manua : Negeri
Manurip : Menyisip
Manus : Taruhan
Mapaliey : Menakuti musuh
Maramis : Menggenapi
Marentek : Tukang besi
Maringka : Berkekuatan
Masie : Tumbuhan obat
Masinambau : Tujuan pasti
Masing : Bergaram
Masoko : Pokok
Matindas : Ramping
Maukar : Menjaga
Mawei : Pembimbing
Maweru : Pembaharu
Mawikere : Teladan
Mawuntu : Kedudukan tinggi
Mekel : Lindungi
Mema : Berbuat
Mende : Pemalu
Mendur : Berguntur
Mengko : Teka-teki
Mentang : Pemutus
Mentu : Rasa
Mesak : Pendesak
Mewengkang : Pembuka jalan
Mewoh : Lemah lembut
Mince : Main
Mincelungan : Main perisai
Minder : Menderu
Mingkid : Pemberi acuan/konsep
Mogot : Penebus
Mokalu : Bersaudara
Mokolensang : Berdiam diri
Mokorimban : Pemberani
Momongan : Pemilik
Momor : Persatuan yang baik
Momuat : Pengurus jamuan
Mondigir : Meratakan
Mondong : Menyembunyikan
Mondoringin : Meratakan jalan
Mondou : Berangkat pagi
Mongi : Kuat kekar
Mongilala : Pengusir musuh
Mongisidi : Saksi dan bukti
Mongkaren : Membongkar
Mongkau : Mencari emas
Mongkol : Mematung
Mongula : Pemohon berkat
Moniaga : Kebesaran
Moninca : Pembuah ramai
Moningka : Penambah tenaga
Moniung : Menangis kecil
Mononimbar : Suka memberi
Mononutu : Pekerja tekun
Montolalu : Pembagi tugas
Montong : Pembawa
Montung : Pengangkat
Motto : Jelas
Muaya : Berani
Mudeng : Berdengung jauh
Mukuan : Mempunyai buku
Mumek : Penyelidik
Mumu : Simpanan cukup
Mundung : Bernaung
Muntu : Gunung
Muntu untu : Gunung bersusun
Muntuan : Ke gunung
Musak : Didesak
Mussu : Penjaga setia
N
Nangka : Diangkat
Nangon : Diangkat
Nangoy : Dipikul
Naray : Jimat
Nayoan : Diberi berkat
Nelwan : Tempat terbang
Nender : Gerakan
Ngala : Dirintangi
Ngangi : Di hati
Ngantung : Ditimbulkan
Ngayouw : Dimajukan
Ngion : Diperoleh
O
Ogi : Goyang
Ogot : Hakimi
Ogotan : Kena dendam
Oleng : Pikulan
Oley : Teladan
Ombeng : Kelebihan
Ombu : Cetakan rupa
Ompi : Tertutuo
Ondang : Pedang
Onsu : Jimat
Opit : Jepitan
Oroh : Perselisihan
Otay : Bertawakal
P
Paat : Pengangkat
Pai : Besar
Paila : Cukup besar
Pakasi : Pemberian
Palangiten : Sinar matahari
Palar : Tapak tangan
Palenewen : Dibenamkan
Palenteng : Peniup
Palilingan : Nasehat baik
Palit : Bekas luka
Panambunan : Timbunan besar
Panda : Pinter
Pandean : Amat pandai
Pandelaki : Pemegang bibit
Pandey : Pinter, pandai
Pandi : Penghancur
Pandong : Tenaga kuat
Pangalila : Berlebihan
Pangau : Jauh kedalam
Pangemanan : Dipercaya
Pangila : Berlebihan
Pangkerego : Suara nyaring
Pangkey : Diangkat
Pantonuwu : Tegas
Pantouw : Penolong bijaksana
Parengkuan : Kepala jimat
Paruntu : Tempat ketinggian
Paseki : Pengikat
Pasla : Tepat tujuan
Pauner : Tengah
Pele : Jimat
Pelengkahu : Emas tulen
Pendang : Pengajar
Pepah : Lemah lembut
Pesik : Pancaran bara
Pesot : Cekatan
Piay : Biasa
Pinangkaan : Tempat yang tinggi
Pinantik : Ditulis
Pinaria : Hubungan erat
Pinontoan : Menunggu
Pioh : Cucu
Piri : Semua satu
Pitong : Memungut
Pitoy : Diikuti
Podung : Dijunjung
Pola : Pengajak
Poli : Tempat suci
Polii : Pelita
Polimpong : Didewakan
Politon : Gembira selalu
Poluakan : Air berkumpul
Pomantouw : Penubuat
Ponamon : Pengasih
Pondaag : Pendamai
Pongayouw : Penghulu perang
Ponggawa : Pemberani
Pongilatan : Berkilat
Pongoh : Berisi padat
Ponosingon : Terbang
Pontoan : Menunggu
Pontoan : Menunggu
Pontoh : Pendek
Pontororing : Bercahaya
Poraweouw : Penunjukan
Porayouw : Perenang
Porong : Tudung kepala
Posumah : Pembagi
Potu : Tekun
Poyouw : Yang diberikan
Pua : Buah
Pungus : Pengawas
Punuh : Orang terdahulu
Purukan : Punya kedudukan
Pusung : Penangkal serangan
Putong : Penyelidik
R
Raintung : Daun bergerigi
Rambi : Bunyi merdu
Rambing : Bunyi suara merdu
Rambitan : Tambahan bunyi
Rampangilei : Kembar bersih
Rampen : Kelebihan
Rampengan : Berkelebihan
Ransun : Bawang
Ranti : Pedang
Rantung : Terapung
Raranta : Naik tangga
Rares : Sehat
Rarun : Sudah tua
Rasu : Penyimpan
Ratag : Terlepas
Ratu : Batu jumat
Ratulangi : Jimat dari langit
Ratumbuisang: Batu berbintik
Ratuwalangaouw: Batu berantai
Ratuwalangon: Batu panjang
Ratuwandang : Batu merah
Rau : Jauh
Rauta : Dewata
Regar : Bebas
Rei : Bebas celaka
Rembang : Burung rawa
Rembet : Berpegang teguh
Rempas : Memasak
Rengku : Tundukan
Rengkuan : Ditunduki
Rengkung : Dihormati
Repi : Pemikir
Retor : Penghalang
Rimper : Potong rata
Rindengan : Bergerigi
Rindengan : Sama-sama
Rindo-rindo : Suara gemuruh
Robot : Lebih
Rogahang : Berkeringat
Rogi : Banyak bicara
Rolangon : Berantai
Rolos : Kepala
Rombot : Dilebihi
Rompas : Penyimpan rahasia
Rompis : Pekerja baik/rukun
Rondo : Lurus
Rondonuwu : Bicara lurus
Rooro : Penggerak
Rori : Dihormati
Rorimpandey : Sempurna
Roring : Kemuliaan
Rorintulus : Cahaya
Rosok : Tepat
Ruaw : Bulan purnama
Ruidengan : Bersama
Rumagit : Menyambar
Rumambi : Membunyikan
Rumampen : Jadi satu
Rumampuk : Memutuskan
Rumayar : Mengibarkan
Rumbay : Tidak perduli
Rumende : Mendekati
Rumengan : Sejaman
Rumenser : Tetesan air
Rumimpunu : Yang dimuka
Rumincap : Berhati baik
Rumokoy : Membangunkan
Rumpesak : Kedudukan
Runturambi : Kehormatan
S
Salangka : Benda persembahan
Salendu : Banyak ide
Sambouw : Bunga kayu
Sambuaga : Bunga kayu cempaka
Sambul : Berlimpah
Sambur : Melimpah
Samola : Membesar
Sangkaeng : Paras kecil
Sangkal : Satu paras
Sarapung : Perkasa
Saraun : Sepintas remaja
Sarayar : Buka jemuran
Sariowan : Pelancong
Sarundayang : Pengiring
Saul : Lengah
Seke : Perorangan
Seko : Sentakan
Sembel : Penuh
Sembung : Bunga
Semeke : Tertawa
Senduk : Senang
Sengke : Guling
Sengkey : Pengguling
Senouw : Cepat
Sepang : Cabang jalan
Sigar : Kaya
Sigarlaki : Kekayaan
Simbar : Terbuang
Simbawa : Banyak kemauan
Sinaulan : Penasehat
Singal : Perintang musuh
Singkoh : Dibatasi
Sinolungan : Memprakarsai
Sirang : Potongan
Siwu : Penghancur musuh
Siwy : Siulan
Solang : Pedang
Somba : Pelindung
Sompi : Penyimpan rahasia
Sompotan : Meluputkan
Sondakh : Pengawas
Soputan : Letusan
Sorongan : Bergeser
Suak : Kepala
Sualang : Karunia
Suatan : Pengharapan
Sumaiku : Panjang idenya
Sumakud : Menewaskan
Sumakul : Menewaskan
Sumangkud : Terikat
Sumanti : Mempergunakan
Sumarandak : Gemerincing
Sumarauw : Pendidik
Sumele : Pembatas
Sumendap : Menyinari
Sumesei : Pengawas
Sumilat : Mengangkat
Sumlang : Main pedang
Sumolang : Memainkan pedang
Sumual : Memiliki kelebihan
Sumuan : Mengesahkan
Sundah : Tidak menetap
Sungkudon : Buah persembahan
Suot : Puas
Supit : Menjepit musuh
Surentu : Banyak bicara
Suwu : Serbu
T
Taas : Kuat
Tairas : Terangkat dari dalam
Talumepa : Berjalan didaratan
Talumewo : Perusak
Tambahani : Senang bersih
Tambalean : Menuju Barat
Tambarici : Dibelakang
Tambariki : Dibelakang
Tambayong : Gemar kekayaan
Tambengi : Amat cepat
Tambingon : Keliling
Tamboto : Menghias kepala
Tambun : Timbun
Tambunan : Timbunan
Tambuntuan : Puncak tinggi
Tambuwun : Menandingi
Tamon : Disayangi
Tampa : Bunga
Tampanatu : Bunga api
Tampanguma : Bunga mekar
Tampemawa : Turun kelembah
Tampemawa : Turun kelembah
Tampenawas : Memotong daun
Tampi : Setia
Tampinongkol: Suka berkelahi
Tandayu : Pemuji
Tangka : Amat tinggi
Tangkere : Teladan
Tangkow : Nyanyian
Tangkudung : Perisai pelindung
Tangkulung : Perisai pelinding
Tanod : Tambu
Tanor : Tambur
Tanos : Teratur
Tarandung : Jalan
Taroreh : Diangkat
Taulu : Dijunjung
Tawas : Penawar mujarab
Tendean : Tempat berpijak
Tengges : Tempat memasak
Tenggor : Menghilang
Tengker : Bergemuruh
Terok : Pedagang keliling
Tidayoh : Senang dihormati
Tiendas : Berkurang
Tikoalu : Penakluk
Tikonuwu : Pandai bicara
Tilaar : Kerinduan
Timbuleng : Pemikul
Timpal : Persekutuan
Tinangon : Terangkat
Tindengen : Pemalu
Tintingon : Melambung
Tirayoh : Senang dihormati
Tiwa : Menaiki puncak
Tiwow : Berniat
Toalu : Didepan
Todar : Bertahan
Togas : Pantang surut
Tololiu : Penghambat
Tombeng : Secepat angin
Tombokan : Berkelebihan
Tombokan : Pemukul akhir
Tompodung : Dijunjung
Tompunu : Membuyarkan musuh
Tongkeles : Percepat
Tooi : Pengikut
Torar : Biasa matahari
Torek : Berkekurangan
Towo : Dari atas
Tuegeh : Tumpukan
Tuera : Perintah
Tulandi : Pemecah batu
Tular : Penasehat
Tulenan : Tetap tolong
Tulung : Pandai menolong
Tulus : Penengah
Tulusan : Menengahi
Tumanduk : Pelindung
Tumangkeng : Merombak
Tumatar : Kebiasaan
Tumbei : Berkat
Tumbelaka : Diberkati
Tumbol : Penopang
Tumbuan : Kaya
Tumembouw : Berteman
Tumengkol : Penahan
Tumewu : Melenyapkan
Tumilaar : Yang dirindukan
Tumilesar : Telentang
Tumimomor : Tempat yang baik
Tumiwa : Ingatan
Tumiwang : Mengingat
Tumober : Hadiah
Tumondo : Tujuan pasti
Tumonggor : Disiapkan
Tumundo : Pembawa terang
Tumurang : Pemberi bibit
Tumuyu : Yang dituju
Tunas : Asli
Tundalangi : Tatapan dari langit
Tungka : Terangkat
Turang : Menopang
Turangan : Berkelebihan
Tuwaidan : Lengkap
Tuyu : Penunjuk
Tuyuwale : Menuju rumah
U
Uguy : Pembawa rejeki
Ukus : Kurang gemuk
Ulaan : Ditakuti
Umbas : Kuat bersih
Umboh : Penolak bahaya
Umpel : Menyenangkan
Undap : Cahaya sinar
Unsulangi : Diatas
Untu : Gunung
W
Waani : Pahlawan
Wagei : Tertarik
Wagiu : Cantik/rupawan
Waha : Bara api
Wahon : Moga-moga
Wakari : Teman serumah
Wala : Cahaya
Walalangi : Cahaya dari langit
Walanda : Cahaya berlalu
Walandouw : Cahaya siang
Walangitan : Cahaya kilat
Walean : Komplek rumah
Walebangko : Rumah besar
Walelang : Rumah tinggi
Waleleng : Rumah tersendiri
Walian : Dukun
Walintukan : Taufan
Waluyan : Lewat
Wanei : Prajurit
Wangania : Buat sekarang
Wangko : Besar
Wantah : Patokan
Wantania : Patokan tetap
Wantasen : Yang jadi patokan
Wariki : Pendidik
Watah : Berani
Watti : Nubut
Watugigir : Batu licin
Watuna : Biji bersih
Watung : Timbul terus
Watupongoh : Teguh
Waturandang : Batu merah
Watuseke : Berani
Wauran : Cabut pilihan
Wawoh : Ketinggian
Wawointama : Cita-cita tinggi
Wawolangi : Di ketinggian
Wawolumaya : Diatas puncak
Waworuntu : Diatas gunung
Weku : Penasehat
Welong : Kurang daya
Welong : Pemikul
Wenas : Penyembuh
Wenur : Persembahan
Weol : Penasehat
Wetik : Berperan
Wilar : Pembuka
Winerungan : Menghiasi
Winokan : Men coba
Woimbon : Bercahaya
Wokas : Penyelidik
Wola : Cahaya
Wondal : Jimat
Wongkar : Membangun
Wonok : Peruntuk
Wonte : Kuat teguh
Wooy : Hujan rahmat
Worang : Kuat ikatan
Worotikan : Pancarana api
Wotulo : Pembersih
Wowilang : Pendorong
Wowor : Obat kesohor
Wuisan : Pengusir
Wuisang : Mengusir
Wulur : Puncak
Wungkana : Gelang jimat
Wungow : Bicara seenaknya
Wuntu : Gunung
Wurangian : Pemarah
Wuwung : Kelebihan
Wuwungan : Diatas atap

 (sumber:blog riopakasi.wordpress.com)

Kalu ada yang salah tolong di koreksi yah....????

Saturday, November 27, 2010

MENCARI IDENTITAS MANUSIA KAWANUA

              MENCARI IDENTITAS MANUSIA KAWANUA

            Pertanyaan mengenai identitas manusia adalah pertanyaan mengenai “Siapa” manusia itu dan bukan “Apa” manusia itu. Yang pertama berkenaan dengan manusia sebagai subjek dalam relasinya dengan subyek yang lain, sedangkan yang kedua berkenaan dengan manusia sebagai obyek. Manusia sebagai subyek adalah manusia yang ini dan bukan yang itu. Dengan kata lain manusia yang ini, yang distinktif dari manusia lain, namun kesubyekan itu selalu dalam relasi dengan subyek yang lain. Kalau hubungan relasional dengan subyek yang lain itu tidak ada, maka manusia itu menjadi obyek. Manusia sebagai subyek adalah manusia yang punya identitas.
Apakah ciri dari manusia sebagai subyek atau yang punya identitas?
1.       Pertama-tama dia punya kesadaran, atau lebih tepat kesadaran eksistensial. Sadar bahwa ia adalah manusia yang mandiri dan bertanggung jawab atas kemandiriannya itu. Tanpa tanggung jawab dia adalah manusia yang tergantung, yang tidak merdeka. Hanya manusia yang merdeka yang mau mengambil resiko dan mau bertanggung jawab atas pilihannya.
2.       Kesadaran akan diri adalah juga sadar akan relasinya dengan sesame manusia, karena kesadaran diri yang berarti mau bertanggung jawab atas tindakannya, harus dapat pula mempertanggungjawabkannya terhadap sesamanya. Suatu tindakan yang bertanggung jawab adalah tindakan yang bermoral, hasil penalaran etis (ethical reasoning).
3.       Mempunyai kesadaran berarti menghayati kesejarahan. Manusia yang sadar akan dirinya adalah manusia yang bertumbuh dan berkembang dalam sejarah. Salah satu dimensi kesejahteraan manusia ialah kebudayaannya, budaya keluarga, kelompok, suku, bangsa, umat manusia.
4.       Kesadaran akan diri yang menyejarah berarti pula kesadaran akan kesinambungan hidup yang berwawasan masa depan. Wawasan masa depan dapat bersifat statis atau dinamis dapat tergantung kepada berbagai factor yang mempengaruhi proses penyejarah itu. Apabila wawasan masa depan itu sekedar perpanjangan dari masa lalu dan masa kini, maka wawasan itu menjadi statis. Tetapi apabila wawasan  masa depan itu mengantisipasikan perubahan, tantangan, dan kemajuan, maka wawasan itu menjadi dinamis. Wawasan lebih merupakan suatu proses dari pada hanya sekedar substansi.
5.       Akhirnya, manusia kini yang berwawasan masa depan dan masa lampau adalah manusia yang beriman. Hanya manusia yang beriman yang boleh dan dapat berpengharapan untuk masa depan yang lebih baik.
Demikianlah kelima esensi dari manusia  yang punya identitas ialah : Kemerdekaan yang bertanggung jawab, sosialitas, penghayatan kesejahteraan yang berbudaya, berwawasan masa depan yang dinamis dan beriman. Kelima esensi manusia tersebut sebenarnya secara keseluruhan atau sebagian telah dihidupi oleh Dr. Ratu Langie dalam kehidupannya, dan oleh manusia-manusia Kawanua panutan di masa lalu maupun kini, seperti para pemimpin Kawanua di masa colonial, pejuan-pejuang revolusi kemerdekaan seperti yang telah ditunjukkan antara lain oleh Wolter Monginsidi, H.N Sumual, A.E Kawilarang, G.H Mantik, pejuang-pejuang KRIS, Mr. Maramis, Arnold Mononutu, para “dokter jawa” di abad XIX, Walanda Maramis, para guru dan pendeta zending, dan masih banyak lagi. Mereka adalah manusia Kawanua yang berkualitas, yang tanpa membuang cirri hakikinya sebagai manusia Kawanua, mereka telah ikut mempersiapkan, memperjuangkan, dan mengisi kemerdekaan negara nasional Pancasila, negara proklamasi 1945.
Penjabaran berikut ini coba merangkum apa yang telah diutarakan mengenai manusia yang beridentitas yang telah digali dari pancaran pemikiran serta tingkah laku manusia Kawanua  panutan. Yang penting ialah penjabaran lebih lanjut atau oprasionalisasi dari berbagai dimensi asensi kemanusiaan itu.
1.    Kualitas : Kesadaran Eksistensial
                 Dimensi : Kemerdekaan, Mandiri, Bertanggung jawab, Berpengetahuan (rasioanl)
    Operasionalisasi dalam kehidupan : Berani mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan keputusan itu ; Percaya akan kemampuan sendiri ; Tidak berbudaya pengemis ; Konsekuen dalam tindakan yang bertanggung jawab ; Haus akan ilmu (belajar) termasuk membelajarkan sesama
2.    Kualitas : Sosialitas
      Dimensi : Mempertanggung jawabkan terhadap sesama manusia dan kesetia-kawanan sosial
Operasionalisasi dalam kehidupan : Setiap tindakan yang diambil adalah hasil dari “moral reasoning” ; Kehidupan dalam masyarakat yang demokratis ; Kepekaan terhadap keadilan sosial

3.    Kualitas : Kesejarahan
     Dimensi : Berbudaya dan keyakinan yang bermasa lalu
Operasionalisasi dalam kehidupan : Penghayatan terhadap nilai-nilai budaya luhur yang positif ; Menghayati tuntutan masa kini tanpa melepaskan akar budaya yang  dimiliki

4.    Kualitas : Berwawasan Masa Depan
     Dimensi : Berorientasi luas dan komprehensif
    Operasionalisasi dalam kehidupan : Menghadapi tantangan hidup masa depan yang terus berubah dengan memanfaatkan potensi nilai-nilai budaya luhur sebagai pelengkap nilai-nilai nasional ; Mengantisipasi proses globalisasi dengan memupuk ketahanan budaya Minahasa dalam tatanan budaya Nasional

5.    Kualitas : Beriman
     Dimensi : Pasrah terhadap rakhmat dan bimbingan TYME
   Operasionalisasi dalam kehidupan : Menghindari kecongkakan manusia ; Penalaran berdasarkan iman yang kokoh ; Mengharpkan kehidupan masa depan yang semakin adil dan makmur dengan petunjuk TYME
      Dari gambaran tentang manusia Kawanua yang beridentitas, pada hakekatnya menggambarkan manusia Minahasa yang berkualitas, yang tidak lain adalah manusia berbudaya yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai kemanusiaan itu ternyata telah hidup dan menghidupi manusia Kawanua sepanjang masa.

Friday, November 26, 2010

Captikus ( Mata Pencaharian Masyarakat Lokal )

ct
Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut kalangan petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau.
Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya.
Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.
Cap Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada catatan pasti kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap warga Minahasa ketika berbicara tentang Cap Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu mulai dikenal sejak nenek moyang mereka.
Yang pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di kalangan petani Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau memulai pekerjaannya, minum satu seloki (gelas ukuran kecil, sekali teguk) Cap Tikus. Minuman ini, menurut Pendeta Dr. Richard AD Siwu, dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Tomohon (Ukit) dikenal oleh setiap orang Minahasa sebagai minuman penghangat tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja.
Sadar betul bahwa Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi, sudah sejak dulu orang-orang tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap Tikus. Sejak dulu pula dikenal pameo menyangkut Cap Tikus, minum satu seloki Cap Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka.
Pak tani minum Cap Tikus karena memang dengan satu seloki semangat kerja bertambah. Karena itu, minum satu seloki Cap Tikus diartikan menambah darah, dan semangat kerja.
Tanda awas langsung diucapkan setelah menenggak satu seloki, sebab jika menambah lagi satu seloki bisa berakibat masuk penjara. Artinya, dengan dua seloki orang bakal mudah terpancing bertindak berlebihan, karena kandungan alkohol yang masuk ke tubuhnya membuat orang mudah tersinggung dan rentan berbuat kriminal.
Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-disebut pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan, sebagian orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan banyak.
Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi minuman Cap Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik menjadi sekitar 40 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama disimpan, kadar alkohol Cap Tikus semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus yang baik akan mengeluarkan nyala api biru ketika disulut korek api.
Mengapa dinamai Cap Tikus? Tidak diperoleh jawaban yang pasti. Ada dugaan, nama itu dipakai karena pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus hutan bermain hidup.
Jika di masa lalu, khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong semangat kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah berubah menjadi tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman tempat pelampiasan nafsu serta menjadi sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka.
Selain bisa diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah pabrik anggur di Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus masuk ke kota dan bahkan di antarpulaukan secara gelap.

Friday, November 19, 2010

Susunan Upacara Adat Kematian Orang Tareran


Upacara Adat Kematian


1.                             Sesaat setelah seseorang meninggal warga sekitar (jaga,kolom/RT) gotong royong membantu keluarga bangun bangsal , menyiapkan konsumsi bagi para pekerja yang membangun bangsal dan bagi para pelayat.

2.                           Malamnya ibadah dan " Masamper " / memberikan penghiburan kepada keluarga yang berduka dengan menyanyikan lagu-lagu rohani atau lagu tempo dulu ; menemani keluarga jaga mayat / jenazah.
 
3.                           Upacara pemakaman didahului dengan ibadah. Jika hari minggu kita diingatkan dengan Lonceng Gereja bahwa Ibadah akan segera dimulai, Untuk Upacara adat yang satu ini orang Tareran Juga menambahkan " Tetengkoren " ( kentongan ) untuk menandakan Ibadah Pemakaman akan segera di mulai. Susunan Ibadah Pemakaman biasanya meliputi :
·          Sambutan/ kata-kata penghiburan
I.                    Pemerintah desa
II.                  Dari gereja
III.                Sesuai permintaan keluarga
IV.                Kalau keluarga mempunyai hubungan dengan organisasi lain, maka organisasi itu akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan kata-kata penghiburan dan diakonia
·         Pembacaan Riwayat hidup (dibacakan oleh anak tertua atau cucu tertua ).
·         Sebelum Ibadah selesai/ditutup. Bersama-sama dengan masyarakat dan jemaat mengantar jenazah keliang lahat
·         Apabila yang meninggal itu adalah  tokoh jemaat (mantan pelsus) jenazah dibawa kegereja dan jenazah disemayamkan di gereja dilanjutkan dengan ibadah
·         Apabila dia tokoh masyarakat (pernah menjadi kuntua, kepala jaga / perangkat desa) di bawa di kantor hokum tua / balai desa untuk mengenangkan jasa-jasa dari yang meninggal semasa dia hidup dan dilaksanakan pelepasan. Setelah itu barulah Jenazah di bawa ke Ladang Pekuburan untuk di Makamkan. Seteh itu baru Ibadah Pemakaman ditutup.
·         Sekembalinya dari lahan pekuburan bersama-sama dengan keluarga kemudian keluarga telah menyiapkan konsumsi ringan untuk sekedar melepas lelah dari ladang pekuburan.

(sumber:Tokoh Masyarakat dan Pemerhati Pemerintah Desa Rumoong Atas Bpk. Dolfie Karundeng )

Wednesday, November 17, 2010

Asal Usul Penduduk Dan Nama Desa Rumoong Atas

Dikisahkan bahwa Lipan dan Konimpis adalah dua orang kakak beradik yang tadinya hidup rukun, mesra dan sentosa. Lipan merupakan kakak dari Konimpis. Ia berperawakan tinggi besar dan kekar, berwajah kasar sesuai dengan perangainya, dan suka berburuh. Konimpis berperawakan kecil, berkulit halus. Sifatnya manis, lembut, ramah, menawan hati, sopan serta hormat. Pekerjaannya adalah bertani.
Akibat perbedaan sifat khas yang mencolok antara keduanyandi masyarakat, maka sang kakak ditakuti dan lama-kelamaan sukar mendapat pengaruh dan dukungan; sebaliknya, Konimpis yang ramah dan sopan sangat disegani. Melihat situasi itu, timbullah rasa iri sang kakak, dan ia bermaksud untuk menghabisi adiknya. Segala upaya dan tipu daya diaturnya.
Pada suatu tempat yang menurut Lipan adalah tempat lalu-lalang Konimpis, di sanalah Lipan menunggu kesempatan terbaiknya membunuh Konimpis, adiknya. Lipan bersembunyi dalam sebuah lubang pohon akel/ seho (enau) yang roboh. Tak berapa lama kemudian, Konimpis datang dalam keadaan lelah dan terengah-engah. Ia pun beristirahat di pohon akel, tempat persembunyian kakaknya. Tak sadar, batang pohon itu dipukul-pukul oleh Konimpis. Lipan yang bersembunyi di dalamnya terkejut dan malu, mengira bahwa Konimpis telah mengetahui rencananya. Ia pun keluar. Di tempat itu mereka bertengkar dan akhirnya mengangkat sumpah bahwa mulai saat itu mereka tidak bersaudara lagi, bahkan siap angkat perang “Taar-era”.
Tempat kakak-beradik itu mengangkat sumpah terletak di puncak pegunungan sekitar 200 meter sebelah barat desa Rumoong Atas sekarang. “Taar-era” lama kelamaan menjadi Tareran.”
Pembuktian menunjuk bahwa Lipan dan Konimpis pernah hidup disana, dimana jembatan Tuunan sekarang (kuala memeak) ada tempat penyeberangan Lipan tanpa jembatan atau titian, yang dikenal dengan sebutan “kopat i Lipan” (langkah lompat Lipan). Begitu pula ada pengikut Konimpis yang sudah mulai singgah di sana, yaitu dua orang wanita yang bernama Mawole dan Manimporok. Kedua perempuan itu berteduh di bawah sebuah pohon besar nan rindang yang bernama pohon Lowian (sejenis pohon beringin). Kemudian datanglah tiga orang lelaki yang masing-masing mempunyai kesaktian:
Sage(seke'): Tonaas yang punya keahlian memasang patok. Sebab saat itu tidak sembarang orang yang bisa memasak patok.
Palandi(pisek): Tonaas yang ahli memanggil burung (sumoring). Dengan cara meniru suara burung tertentu(soring), burung tersebut akan datang untuk menyampaikan bunyi. Bunyi tiap jenis burung dipercaya mempunyai arti tertentu.
Mamarimbing( ma'abe): Tonaas yang punya keahlian membaca/ memeriksa bunyi burung dan tahu apa artinya. Burung yang bisanya memberi tanda adalah burung Wara. Jenis burung Wara malam disebut Manguni. Sedangkan wara siang disebut wara inen do. Ada juga burung lainnya seperti: Titicak (burung Sri gunting), Tangka lio-liowan (burung kuning) dan lain-lain. Tonaas Mamarimbing tahu arti dari bunyi burung-burung tersebut.
Setelah mereka mendengar bunyi burung dan punya arti baik, maka Tonaas Sage memasang patok di bagian barat pohon Lowian. Itulah sebabnya pemukiman di sekitar pohon tersebut dinamakan Lowian (nama sebelum menjadi Rumoong Atas). Tapi berhubung pohon Lowian yang sangat rindang itu sulit ditembus cahaya matahari, maka mereka memindahkan patok sekaligus tempat perteduhannya di sebelah timur guna mendapat cahaya matahari. Mereka menyebut tempat itu “Sendangan”, yaitu bagian barat desa Lansot yang berbatasan dengan desa Rumoong Atas sekarang. Tempat itu tetap disebut “Sendangan” sampai tahun 1950-an. Bersamaan pada waktu itu datanglah orang lain yang ingin menetap di bawah pohon Lowian. Mereka dipimpin dotu Moutang, sekitar + tahun 1625. Dotu inilah yang dipandang sebagai dotu desa Rumoong Atas.

Perubahan Nama Lowian Menjadi Rumoong Atas
Penghuni pemukiman yang dinamakan Lowian merupakan perpaduan penduduk yang datang lebih dahulu dari penduduk yang diperkirakan berasal dari jurusan Langowan, dengan rombongan dotu Moutang dari arah barat sekitar tahun 1625, yang semakin bertambah banyak. Orang yang datang bertambah banyak pada suatu tempat yang sudah didiami orang disebut “Rumoang”. Di sebelah timur sudah ada pemukiman yang disebut “Lansot”, yang ditempati sejak tahun 1560. Nama baru desa Lowian secara resmi diubah sebutannya menjadi “Rumoang”.
Pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 sampai 1945, pada papan nama desa tertulis “Rumoon”. Lama-kelamaan menjadi Rumoong. Nama “Rumoong” pada saat itu sudah ada dua, yaitu Rumoong yang ada di wilayah Tombasian atau Kecamatan Tombasian dan Rumoong yang sebelumnya disebut Lowian. Maka untuk membedakan keduanya, Rumoong yang dulunya Lowian kemudian disebut “Rumoong Atas”. Sengaja disebut demikian karena tempat yang dulunya Lowian berada di pegunungan, sedangkan Rumoong yang satunya yang berada di pesisir pantai di sebut “Rumoong Bawah”.
Rumoong Atas secara resmi menjadi desa tahun 1840.
 

Tuesday, November 16, 2010

Nilai Historis dan Filosofis Yang Tersimpan di Gunung Tareran“Taar Era dan Nialeran”


Nama seseorang atau nama sebuah tempat di Minahasa, memiliki arti khusus atau menyimpan sebuah makna, pesan hidup bagi Tou (orang) Minahasa. Biasanya itu berhubungan dengan peristiwa tertentu atau ‘pengetahuan’ leluhur.

Wilayah pegunungan Tareran yang kini berada di wilayah Kabupaten Minahasa Selatan, bagi Tou Minahasa juga menyimpan banyak kisah historis tentang heroisme Tou Minahasa. Sejumlah nilai kultural warisan leluhur Minahasa dipercaya masyarakat, banyak yang terpatri di pegunungan ini, baik dalam situs, nama tempat dan sebagainya.

Desa-desa yang kemudian mengitari pegunungan Tareran ini dikenal dengan daerah Kecamatan Tareran. Bagi masyarakat Tareran, nama Tareran menyimpan makna historis maupun filosofis yang dalam. 

Salah seorang tokoh masyarakat yang ada di desa Rumoong Atas Kecamatan Tareran, Dolfie Karundeng menuturkan, kata Tareran ini sendiri memiliki banyak versi dalam masyarakat Tareran.
“Memang banyak versi tentang arti kata Tareran. Ada yang bilang kata itu diambil dari cerita asal usul penduduk Tareran, Lipan dan Konimpis. Dalam versi ini diceritakan bahwa dua kakak beradik ini pernah berjanji di atas bukit di wilayah pegunungan Tareran, untuk tidak lagi berperang. Pesan penting yang sangat teologis bagi generasi mereka kemudian, hingga kita saat ini, jangan lagi kita terlibat perang atau pertikaian,” kata salah satu dari beberapa tokoh penyusun sejarah Desa Rumoong Atas ini.

Menurut Karundeng, pesan tersebutlah yang kemudian dikenal dengan ‘Taar Era’. Dari kata Taar Era inilah muncul kata Tareran. “Itu salah satu versi yang sempat saya dengar. Waktu penyusunan sejarah desa dulu, kita ada 11 orang tokoh masyarakat yang mendiskusikan tentang cerita ini. Kita semua kemudian sampai pada keputusan bersama bahwa cerita itu harus diterima sebagi warisan dari leluhur, yang sudah diceritakan turun-temurun hingga ke telinga kita, melalui oma dan opa,” terangnya.

Versi yang lain yang diceritakan para tetua di Desa Rumoong Atas, wilayah pegunungan itu diberi nama Tareran karena dahulu di zaman Minahasa masih berperang dengan Kerajaan Mongondow, gunung itu salah satu benteng pertahanannya orang Minahasa.
“Di satu masa, para tentara kerajaan Mongondow terus berupaya melakukan penetrasi ke wilayah pedalaman Minahasa. Wilayah pegunungan Tareran ini kemudian dijadikan benteng pertahanan untuk menghambat pasukan Mongondow masuk dari arah Selatan. Untuk menakuti orang-orang Mongondow yang masuk ka tanah kita, para waraney (ksatria) yang berjaga di wilayah ini sengaja mengumpulkan kepala-kepala musuh yang menjadi korban perang di wilayah Pinamorongan kini, kemudian menjejerkan di atas gunung. Dari situ, gunung itu kemudian dikenal mereka dengan gunung “Nialeran” atau gunung tempat da kase ba la’ler (jejer) akang kepala-kepala musuh. Versi ini menyimpan pesan tentang heroisme Tou Tareran dalam usaha mempertahankan tanah dan adat kita,” jelas Karundeng.

Jadi menurutnya, jika dilihat dari versi ini, kata Tareran tidak ada hubungan dengan cerita Lipan dan Konimpis.
Karundeng menegaskan, perbedaan versi cerita ini sesungguhnya bukan persoalan. “Beragam versi cerita tentang Tareran itu bukan persoalan tapi jutru kekayaan yang harus kita terima. Karena dari setiap kisah itu tersimpan banyak nilai ke-Minahasa-an yang penting bagi generasi sekarang ini. Tapi yang terutama juga, sebagai orang Tareran, kita harus bisa menjelaskan kepada orang lain ketika mereka bertanya, apa itu arti kata Tareran,” tandasnya.

Mau Nikah Dengan Orang Tareran...???

Untuk menikah dengan menggunakan adat minahasa (perkawinan adat di Tareran)…terdapat beberapa tahap yang harus dilalui oleh sepasang laki-laki dan perempuan…ini dia tahapan-tahapannya…
1.    Temunang : Temunang itu diambila dari bahasa tontembowan yang artinya batunangan atau berpacaran dulu…untuk saling mengenal pribadi masing-masing..
2.    Temerang : Nah Tahapan ini harus dilakukan untuk memperjelas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Proses ini harus melibatkan keluarga kedua pihak untuk memperoleh keterangan kedua belah pihak dalam membina hubungan yang serius…karena itu proses ini dinamakan Tumerang yang berarti terang.
3. Sumominta Setelah mendapatkan ketreangan jelas, untuk melangkah ketahap selanjutnya dari pihak laki-laki akan berkunjung ke rumah keluarga perempuan untuk Meminta ijin untuk menikahi putri mereka. Dalam tahap ini biasanya dari pihak laki-laki akan memberikan ” Turuk “ seperti seserahan tapi hanya berupa amplop dengan memberikan penjelasan kepada keluarga perempuan biasanya menggunakan kalimat ” yah biar cuma mo kase beli lenso “…
4.    Niombal Ang Gereja: (Artinya Diumumkan di Gereja). Setelah mendapatkan ijin untuk menikah kedua pihak yang akan menikah harus melaporkan di gereja dimana mereka ingin dinikahkan…biasanya gereja dimana seorang dari mereka terdaftar sebagi jemaat. Tahapan ini sangat penting karena bertujuan agar rencana pernikahan mereka diumumkan digereja / baca di Gereja, supaya jangan ada orang yang merasa keberatan atau ada yang mengganggu gugat
5.    Kemaweng: (Artinya Perkawinan) Jika tidak ada yang keberatan setelah Niombal ang Gereja kedua orang itu bisa melakukan perkawinan atau Kemaweng.
6.    Balas Gereja :Setelah Pernikahan Keluarga baru itu akan pergi kegereja biasanya Gereja Dimana diantara kedua pihak terdaftar sebagai jemaat(jika Menikah di Gereja dimana pihak laki-laki terdaftar sebagai jemaat, maka balasa Gereja dilakukan di Gereja dimana pihak perempuan terdaftar sebagai jemaat) Tahapan ini harus dilakukan untuk memperjelas bahwa keluarga yang baru itu adalah orang yang beriman…

yah…begitulah tahapan yang harus dilewati jika ingin menikah dengan menggunakan adat minahasa.
Bpk. Dolfie Karundeng ( sumber : Bpk. Dolfie. Karundeng )

Spot-spot Bersejarah Di Wilayah Tareran

Tabeah waya e karapi wo karoong ku…
Sebagai orang Tareran torang seharusnya jangan babadiam…torang harus bagera supaya di Tareran Ada Spot-spot pariwisata…pasti ada yang bilang…” ndak bisa torangkan kasiang dikampung “…salah total…!!!sadar ndak sadar di Tareran ada beberapa situs peninggalan sejarah dan tempat-tempat yang berpotensi dijadikan objek wisata…ini ada beberapa…
  1. Kopatan LIPAN: ( LIPAN merupakan bagian dari sejarah minahasa…yaitu seorang berbadan besar seperti raksasa yang merupakan seorang prajurit perang minahasa sewaktu berperang melawan mongondow )atau bekas lompatan Lipan…tempat ini memiliki nilai sejarah yang kuat baik bagi Orang Tareran Maupun Minahasa Umumnya…tempat ini terletak di sungai memeak, kira-kira 40 meter dari jembatan Tuunan…yang merupakan sumber air dari beberapa desa di sekitannya. Jembatan Tuunan sendiri terletak kurang lebih 1 kilometer dari desa Rumoong-Lansot yang merupakan pusat dari kecamatan Tareran.
  2. Pegunungan Tareran: atau lebih dikenal dengan gunung Tareran…Di puncak gunung Tareran kita bisa melihat hampir seluruh desa di kecamatan Tareran dan merupakan suatu primadona tersendiri buat masyarakat Tareran dan dengan adanya gunung ini masyarakat dulu atau (orang tua-tua dulu) percaya bisa menahan bencana untuk masuk ke daerah ini
  3. Waruga/Kuburan Kuno: Sebagian orang Tareran tidak mengetahui kalo di Tareran ada sebuah Waruga atau kuburan tua yang lumayan besar…Waruga ini terdapat di desa Lansot, lebih tepatnya lagi terletak sekitar 15 meter dari balai desa Lansot.
  4. Batu Konimpis : (Konimpis adalah saudara dari Lipan)ini adalah batu besar yang terdapat cetakan tangan Konimpis batu ini juga merupakan simbol dari pertengkaran juga sekaligus simbol perdamaian yang dititpkan atau merupakan pesan dari Lipan dan Konimpis atau "Taar Era"
Itulah beberapa tempat yang bisa dijadikan objek wisata di Tareran…Jika ada lagi situs atau semacamnya yang ada di Tareran Tolong Diinfo yahh…torang baku bekeng pande…!!!
Pakatu’an wo Pakalouwiren…Cita Waya Esa…!!!

CERITA RAKYAT ( Lipan Dan Konimpis )

PERTEMUAN  DENGAN  LIPAN DAN KONIMPIS
Setelah peduduk membuka hutan dan mendirikan pemukiman yang baru, ketiga Tonaas yaitu Mamarimbing, Sage dan Palandi kembali melakukan penyelidikan disekitar pemukiman hingga kearah dekat bukit yang menjdi sasaran penyelidikan mereka. Mereka telah mengetahui bahwa di wilayah sekitar kampung tersebut telah bermukim dua orang kakak-beradik yang sering berlalu-lalang di hutan di sekitar pemukiman penduduk. Mereka berdua anak yatim piatu. Sang kakak bernama Lipan dan sang adik bernama Konimpis. Mereka tinggal di pondok peninggalan orang tua mereka di hutan sekitar pemukiman tak jauh dari Kuntung Tareran yang bernama Lopana.
Kedua kakak-beradik ini mempunyai postur tubuh dan perangai yang sangat berbeda satu sama lain seperti pebedaan antara langit dan bumi. Sang kakak Lipan konon mempunyai postur tubuh yang tinggi besar, berwajah kasar dan mempunyai perangai yang buruk. Pekerjaan sehari-hari adalah berburu binatang di hutan. Sedangkan sang adik Konimpis sangat berbeda jauh dengan sang kakak, badannya kecil berkulit halus serta sifatnya yang sopan, ramah dengan perangai yang lembut. Pekerjaannya sehari-hari adalah bertani dan menyadap saguer (air nira).
Pada saat ketiga tonaas itu menaiki kearah puncak bukit, mereka melihat ada seorang yang memanjat pohon aren (nira) dengan membawa bambu di punggungnya. Merekapun saling pandang dan sangat heran bahwa di tengah hutan di tempat yang terpencil ini ada seorang yang mengambil (kumeet) Saguer (air nira). Merekapun menuju kearah pohon itu dengan hati-hati agar tak mengejutkan orang tersebut.
“ Tabea,,,,” (selamat pagi), mendengar ada orang yang menyapanya, orang itu terkejut dan hampir saja jatuh dari pohon. Utung saja tangannya dapat meraih sebuah patahan batang daun nira yang tergantung di dekatnya. Mata orang itu memandang mencari tahu asal datangnya suara yang menyapa tadi. Ia melihat ketiga orang dewasa dengan tubuh yang gagah berdiri tak jauh dari pohon tempat ia menyadap.
“ siapa kalian, apa yang mau kalian lakukan disini !” kata orang itu dengan sangat hati-hati sambil menuruni pohon aren tersebut. Sebab selama hidupnya, ia sangat jarang bertemu dengan orang lain.
“ maafkan kami apabila kami membuat adik terkejut. Kami datang disini dengan maksud yang baik dan tidak akan menganggu keberadaan adik” Kata Tonaas Mamarimbing dengan lembut. Mendengar sambutan yang penuh persahabatan tersebut, orang itu mulai tenang dan tidak marasa terkejut lagi.
“ Bapak-bapak…saya bernama Konimpis…saya tinggal bersama kakak saya Lipan disekitar bukit ini. Maafkanlah saya apabila saya tidak menyambut bapak-bapak dengan baik “ kata Konimpis dengan ramah. Sambutan Konimpis yang sangat bersahabat itu, membuat ketiga tonas itu menjadi terkejut. Mereka tidak mengira bahwa yang mereka hadapi itu adalah Konimpis yang merupakan salah satu orang yang sangat terkenal dan ditakuti oleh para pemburu binatang di sekitar daerah pegunungan ini. Tetapi mendengar sambutan yang ramah dari Konimpis, ketiga tonaas itu menjadi sedikit lega karena karena dugaan mereka tentang kakak-beradik ini merupakan orang-orang yang sangat kasar dan jahat seperti yang mereka dengar selama ini ternyata sebaliknya.
“ Oh…jadi kamu yang bernama Konimpis ? kami sudah pernah mendengar nama kalian,. Tapi kami tidak menduga bahwa adik begitu baik dan ramah “. Kata Tonaas Mamarimbing.
“ saya bernama Mamarimbingyang biasa dipanggil Ma’abe, sedangkan yang disebelah saya ini adalah Palandi yang biasa dipanggil Pisek dan ini adalah Sage boleh juga dipanggil Seke’ “ Kata Tonaas Mamarimbing memperkenalkan diri mereka.
“ kami datang dari Tounkimbut yaitu sebelah sungai besar bagian timur daerah ini. Kedatangan kami ke daerah ini dengan maksud ingin menyelidiki keadaan sekitar bukit ini karena wilayah ini sudah menjadi incaran orang-orang asing dari dataran tinggi sebelah selatan dan barat.” Tonaas Mamarimbing menjelaskan maksud mereka. Mendengar hal itu konimpis hanya mengangguk-angguk kepalanya saja sambil berkata :
“ saya tak akan mencampuri urusan bapak-bapak. Tapi saya akan mengabari kedatangan bapak-bapak kepada kakak saya Lipan yang lagi berburu, agar urusan kalian tidak mendapat gangguan dia.” Kata Konimpiskedapa ketiga tonaas itu.
Selanjutnya ketiga tonaas itu lalu menjelaskan kepada Konimpis mamaksud mereka mendirikan pemukiman didaerah sekitar tempat tersebut. Sambil bercakap-cakap, mereka di suguhi Saguer (air nira) dari Konimpis. Konimpis juga menjelaskan mengenai daerah sekitar bukit tersebut kepada ketiga tonaas dengan ramah dan penuh persahabatan. Setelah hari menjelang senja, ketiga tonaas itu mohon diri untuk kembali kepemukiman sementara mereka, sedangkan Konimpis juga kembali dikediamannya dekat dengan bukit tersebut.
Beberapa hari kemudian para tonaas kembali mengadakan penyelidikan untuk menyusuribagian Barat Kuntung Tareran, tiba-tiba mereka mendengar bunyi lengkingan babi hutan disekitar hutan yang mereka tuju. Mereka lalu mencari tahu asal datangnya suara lengkingan binatang yang mereka dengar itu sambil berjalan menuju ke arah hutan yang lebat. Tak lama mereka memasuki hutan tersebut, tiba-tiba berdirilah dihadapan mereka seorang pria berbadan tinggi besar dengan mata yang tajam memadang mereka.
” hei…siapa kalian ! kalian ingin mencuri hasil buruanku ha…?? Kata orang itu dengan suara yang parau nsambil memegang sebatang lembing (tombak dari kayu) ke arah para tonaas. Ketiga tonaas menjadi sangat terkejut dan bersiap diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka melihat seorang muda yang badannya sangat tinggi dari ukuran manusia normal dengan wajah yang beringas sedang menghadang perjalan mereka.
” adik…” kata Tonaas Mamarimbing ”…bukankah adik yang benama Lipan ?” tanya Tonaas Mamarimbing dengan tenang dan penuh persahabatan. Mendengar namanya disebut dan dikenal oleh orang asing, ia menjadi heran.
” Dari mana kalian tahu namaku !” bentak Lipan keheranan.
” Oh……..jadi kalian orangnya yang diceritakan oleh adikku Konimpis itu?” ia lalu menurunkan lembingnya sambil mendekati ketiga tonaas itu. Melihat orang itu berjalan menuju kearah mereka, Palandi dan Sage bersiap untuk menghadang. Tetapi Tonaas Mamarimbing menenangkan mereka .
” Benar…..kami telah bertemu dengan adikmu Konimpis. Kami datang ke daerah ini tak bermaksud mengganggu akan kehidupan kalian ” kata Tonaas Mamarimbing.
” Ya…..adikku sudah menceritakan semuanya kepadaku. Tugas kalian tidak akan aku halangi, tapi kalian juga tak boleh mengganggu akan daerah perburuanku” kata Lipan sambil duduk pada sebuah batang pohon dimana seekor babi hutan hasil buruannya diletakkan. Tak lama kemudian mereka sudah terlibat pembicaraan yang serius. Lipan lalu menjelaskan seluk-beluk hutan disekitar Kuntung Tareran kepada tonaas sambil memanggang hasil buruannya. Melihat hasil buruan Lipan yang sedang dipanggang dalam perapian mengeluarkan bau yang enak, timbullah rasa lapar dari ketiga tonaas itu. Sebab sudah sepanjang hari mereka berjalan, mereka belum makan sesuatu apapun. Sehingga setelah daging itu matang, tanpa basa-basi lagi, Sage dan Palandi lansung menyantap daging panggang hasil buruan Lipan dengan lahapnya.
Melihat sikap Palandi dan Sage itu Tonaas Mamarimbing lalu meminta maaf atas sikap kedua rekannya itu. Tapi Lipan justru mengambil bagian paha daging itu dan diberikan kepada Tonaas Mamarimbing. Tonaas Mamarimbingpun menyambut pemberian Lipan itu dengan senang hati. Lipan hanya sesekali ikut menyantap bersama ketiga tonaas sambil meneguk Saguer dari sebuah bambu kecil yang selalu diikat pada pinggangnya. Selesai mereka menyantap daging buruan itu, Lipan lalu membungkus sisa daging panggang itu untuk diberikan kepada adiknya Konimpis bila ia pulang nanti.
Setelah hari menjelang senja, ketiga tonaas memohon diri untuk kembali ke pemukiman mereka.
” Lipan…. terima kasih atas sambutanmu yang baik ini.” Kata Tonaas Mamarimbing.
” Kami bertiga akan kembali ke perkampungan kami yang baru kami dirikan disebelah timur Kuntung Tareran ini. Bila ada waktu, kunjungilah kampung kami ini, kami pasti akan menyambutmu dengan senang hati.” Kata Tonaas Mamarimbing.
” Saya juga sangat senang dengan kedatangan kalian di daerah saya ini. Tetapi saya sangat canggung bertemu orang-orang. Tetapi bila ada waktu, saya akan mengunjungi kalian.” kata Lipan sambil berlalu dihadapan para tonaas itu.
” Dotu…. sebenarnya Lipan orangnya sangat baik, tetapi karena perangainya yang kasar itulah sehingga orang sangat takut bertemu dengannya.” kata Tonaas Palandi.
” Ya… Dia memang baik, tetapi karena hidupnya yang keras dihutan dan jarang bergaul dengan orang lain, membuat dia selalu curiga apabila bertemu dengan orang lain.” Kata Tonaas Mamarimbing sambil berjalan ke arah timur menaiki bukit.
” Memang kita bersyukur bertemu dengan dia tanpa kekerasan. Dan mudah-mudahan dia tak mengganggu pemukiman kita yang baru kita dirikan.” Kata Tonaas Sage sambil mengikuti Tonaas Mamarimbing dan Palandi menaiki bukit Tareran menuju pemukiman.
Mulai saat itu tugas para Tonaas menyelidiki daerah itu menjadi lebih aman tanpa gangguan dari Lipan dan Konimpis yang semula agak ditakuti oleh para Tonaas. Itulah sebabnya dari hasil pembicaraan dengan Lipan tersebut, penduduk yang mendirikan kampung Lansot sejak dahulu, tak pernah menggangu atau menggarap daerah sebelah barat pemukiman, yaitu daerah sekitar pohon Lowian hingga ke sisi sebelah barat Kuntung Tareran.
*************************************
PERTEMPURAN PERTAMA
DI PEGUNUNGAN TARERAN

Beberapa hari kemudian para tonaas dan pengikut-pengikutnya (warani/waraney) mulai berdatangan dari arah Tumompaso melalui jalur selatan kuala Tu’unan. Mereka lalu menghadap Tonaas Mamarimbing untuk melaporkan kedatangan mereka dengan kekuatan pasukan masing-masing. Pasukan yang datang tersebut antara lain terdiri dari pasukan pakasaan Tumumpaso (Tounpaso) yang dipimpin oleh Tonaas Lampus, Wa’ani dan Tambelaka, dari pakasaan Langkowan (Langowan) datanglah pasukan pimpinan Tonaas Mawole dan Manimporo, serta dari pasukan Tounkimbut (sekarang Kawangkoan / Sonder) pimpinan Teterusan Karengis, Piau dan Lalawi bersama seorang potuasan yang merupakan pasukan yang ditempatkan Tonaas Mamarimbing di Tumompaso sebelum ia melakukan perjalanan ke Kuntung Tareran. Begitupun pasukan yang berasal dari Tombulu yang datang dengan seorang pandai besi yang bernama Dotu Marentek, serta satu orang Walian Peposanen. Pasukan dari pakasaan Tombulu ini dibawah pimpinan Tonaas Tololiu, Kainde’ dan Dotu Tumalun dari Toubariri. Sedangkan dari di wilayah pakasaan Tolourdatang dengan pasukan pilihan yang dikirim oleh Dotu Makarano, serta tambahan pasukan dari beberapa desa yang tinggal di dekat aliran sungai seperti dari Kay Wasian (Tounbasian) yang dipimpin oleh Tonaas Kopero dan Teterusan Pandeirot.
Mereka kemudian bermukim di daerah sebelah timur Kuntung Tareran yang disebut Lowian. Untuk memenuhi keperluan makan para Tonaas dan pengikutnya, mereka berburu binatang di hutan sekitarnya dan menyadap pohon sagu [seho] yang pada waktu itu banyak tumbuh di daerah sekitar Kuntung Tareran. Dalam pertempuran Minahasa dan Mongondow, pohon bekas pengambilan sagu yang telah ditebang itu kelak bermanfaat untuk tempat berlindung para Tonaas dan pengikutnya.
Tak lama kemudian bergeraklah pasukan Malesung. Mereka menuju ke tempat penghadangan yang telah ditentukan sesuai dengan kelompok pasukan masing-masing. Menjelang tengah hari, para pasukan sudah berada di tempat penghadangan yang dimaksud dan secara diam-diam mulailah para Tonaas dan pasukannya menyebar ke seluruh bukit yang mengelilingi daerah itu sesuai dengan posisi dari masing-masing pasukan di bawah pimpinan para teterusan.
Sementara itu pasukan Bolaang-Mongondow sedang melewati sebuah bukit dan memasuki sebuah lembah yang datar. Tiba-tiba mereka terkejut dengan suara gemuruh yang datangnya dari segala penjuru hutan. Sang Bogani pimpinan pasukan Bolaang-Mongondow dengan sigap lalu memerintahkan pasukannya untuk waspada. Tapi hal itu sudah terlambat. Orang-orang gunung sudah dihadapan mata mereka.
Dari arah timur terdengar teriakan (bakuku) para Tonaas yang berada di bukit-bukit dengan suara yang nyaring sambil mengangkat santi mereka.
” Maka Petor !” artinya ’Demi Kebenaran’. ” I Yayat U Santi” yang berarti ” angkatlah senjata dan kalahkan musuh”. Mendengar teriakan itu, bergemuruhlah teriakan balasan seluruh pasukan (Waraney/Warany) di seluruh penjuru lembah dan bukit. Bersamaan dengan itu terdengar teriakan lainnya dari arah Timur kaki Kuntung Tareran. Mendengar teriakan itu maka menyerbulah para waraney/warany yang dipimpin oleh masing-masing kepala pasukannya dan langsung berhadapan dengan pasukan Mongondow.
Mendengar suara gemuruh dan bunyi kentongan bertalu-talu dari semua penjuru, pasukanMongondow menjadi kaget dan bingung. Sang Bogani langsung memerintahkan pasukannya untuk berhenti, dan bersiap untuk menyusun barikade. Tetapi serangan begitu mendadak dan tiba-tiba dari pasukan gabungan pimpinan Tonaas Kainde’ membuyarkan maksud sang Bogani tersebut. Teriakan yang sama pula terdengar dari mulut Tonaas Mawole, dan Palandi di sisi sebelah utara yag menandakan serbuan dimulai. Dari sisi sebelah barat terdengar teriakan dari Lampus dan dibalas dengan suara pekikan dari pasukannya menyerang dan menutup jalan masuk dari pasukan musuh.
Teriakan (bakuku) yang gagah dan nyaring itu dikenal dengan istilah ”Wangunen Engkeret” berarti ’Berteriaklah dengan gagah’. Istilah ini merupakan salah satu syarat bagi para Tonaas dalam memimpin pasukannya di medan pertempuran. Karena dengan teriakan yang gagah dan nyaring tanpa rasa takut, akan menimbulkan semangat dan keberanian dikalangan para warany dan waraney untuk bertempur dan memenangkan peperangan.
Mendengar gemuruh dari teriakan para Tonaas yang disambut oleh pekikan para warany dan waraney dari seluruh penjuru hutan, maka pasukan kerajaan Mongondow yang tidak menyangka bahwa mereka diserang didaerah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Pasukan Bolaang Mongondow tak menduga bahwa kedatangan mereka telah didahului oleh pasukan Malesung. Semula anggapan mereka bahwa daerah itu belum berpenghuni dan masih merupakan hutan perawan. Sang Bogani yaitu pemimpin pasukan Mongondow bersama para Tonawan pemimpin masyarakat Mongondow tak mempunyai jalan lain selain bertempur dan melayani serbuan mendadak dari orang-orang gunung. Pertempuranpun berkobar dengan sengitnya.
Pertempuran antara Tou Minahasa dibawah pimpinan paa Tonaas dan terusan-terusan dengan pasukan Mongondow yang dipimpin oleh para Bogani dan tonawan dikaki pegunungan Tareran berlangsung serunya. Para tonaas dan pasukannya secara bahu-membahu mengahadapi pasukan dari pasukan Kerajaan Bolaang-Mongondow tanpa perasaan gentar. Sebaliknya pasukan Mongondow terlihat sangat kewalahan menghadapi sepak terjang orang-orang gunung yang begitu bersemangat dan tak pandang bulu untuk menjatuhkan lawannya. Korban mulai berjatuhan dikedua belah pihak. Rintihan kesakitan dari beberapa orang yang terluka mulai terdengar diantara bunyi senjata yang saling beradu. Masing-masing pihak berusaha saling mengalakan, sehingga pertempuran akhirnya melebar hingga ke puncak-puncak bukit. Walaupun pasukan Malesung jumlahnya lebih kecil dari pasukan bolaang-mongondow,tetapi merek dapat mengimbangi bahkan mulai dapat menekan kekuatan musuh yang datang dengan kekuatan yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh penghadangan yang dilakukan oleh pasukan malesung berlangsung dengan tiba-tiba ditambah dengan pengenalan lokasi yang baik dan semangat yang tinggi para warany/waraney dibawah pimpinan para tonaa dan teterusan yang gagah berani.
Pertempuran antara pasukan Melesung dan pasukan kerajaan Bolaang-Momgondow itu berlangsung berhari-hari. Pertempuran pertama pertama terjadi di daerah di sebelah bukit Tareran yaitu suat hutan yang merupakan lembah yang dikelilingi oleh perbukitan yang kemudian dikenal dengan nama Pawuwukan. Selanjutnya pada hari-hari berikutnya pertempuran melebar hingga jauh ke pedalaman hutan dan bukit-bukit. Dan apabila matahari terbenam, kedua pasukan dari Malesung dan Mongondow ini menarik diri untuk istirahat dan menyusun kekuatan baru.
*************
Selang beberapa hari kemudian, pertempuran antara pasukan Malesung yang telah mengerahkan segenap kekuatannya dengan pasukan Bolaang Mongondow, kembali berkobar. Pertempuranpun berlangsung dengan seru. Pasukan kerajaan Bolaang Mongondow dengan sisa-sisa kekuatannya terus berusaha menahan gempuran orang-orang gunung yang datang dengan kekuatan penuh. Korbanpun mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi hingga hari menjelang siang, belum juga pasukan Malesung berhasil mengalahkan pasukan Bolaang Mongondow. Pada saat suasana pertempuran sedang berlangsung, tiba-tiba dari arah selatan muncullah pasukan bantuan dari Kay Wasian yang dipimpin oleh Karengis dan Piaw dari Tounkimbut bagian atas. Bersama mereka pula pasukan cadangan yang dipimpin oleh Sage.
Kedatangan pasukan ini menambah semangat dari pasukan Malesung yang sudah berhari-hari bertempur. Akhirnya pasukan Bolaang Mongondow mulai terdesak bahkan banyak anggota pasukan yang sudah terpisah dari pasukan induk yang masih bertempur dilembah. Tak berselang lama pasukan induk Bolaang Mongondow itu satu persatu bergigiran bersimbah darah bahkan sebagian besar dari mereka yang masih bertahan sudah sangat kelelahan dan semakin lemah pertahanannya. Kelelahan pasukan Bolaang Mongondow ini disebabkan bahwa dalam pertempuran selama berhari-hari, mereka belum mendapatkan bantuan yang diharapkan. Karena setiap kurir yang membawa pesan ke markasnya Pinamorongan, selalu dihadang oleh para pasukan Malesung yang berjaga-jaga disepanjang garis pertempuran sebelah barat.
Dengan kondisi pasukannya yang sudah lemah itu, sang Bogani pemimpin pasukan Mongondow, memerintahkan anak buahnya yang masih tersisa untuk bergerak mundur ke arah barat tempat mereka datang. Pasukan Bolaang Mongondow akhirnya mundur dan kembali ke markasnya di Pinamorongan dengan mengambil jalan disis sebelah utara perbukitan. Pertempuranpun berhenti. Pasukan Malesung kembali pulang dengan kemenangan sambil menaiki puncak Tareran menuju markasnya didaerah Lowian.
Pada pertempuran yang berlangsung beberapa hari itu,kedua belah pihak meninggalkan korban jiwa yang tidak sedikit. Masing-masing pasukan baik dari orang-orang gunung dan pasukan Bolaang Mongondow telah menunjukan kegigihan dan semangat yang pantang menyerah dalam medan pertempuran.
Konon bahwa senjata yang dipegang oleh sebagian para Tonaas dan Walian dalam pertempuran tersebut bukan berupa tombak atau pedang, melainkan juga memakai tiga batang lidi hitam yang berasal dari pohon Nira (akel) yang diikat menjadi satu, serta batang dan daun pohon yang disebut tawaang yang dipakai sebagai kelung (perisai).
Dalam setiap tebasan lidi yang dilakukan oleh para Tonaas, maka kepala pasukan Bolaang Mongondow yang menghadang akan putus di payau oleh para Tonaas. Itulah sebabnya dalam pertempuran tersebut banyak sekali kepala pasukan Bolaang Mongondow yang tertebas dan putus dipayau dan terpisah dari badannya.
********************************
PERSELISIHAN LIPAN DAN KONIMPIS
Disekitar pemukiman baru Tountemboan di pegunungan Tareran yang dinamakan ro’ong Lansot, hiduplah dua orang kakak beradik bernama Lipan dan Konimpis. Pada awalnya antara Lipan dan Konimpis hidup rukun dan damai dan saling mendukung seperti biasanya kakak beradik. Tetapi hal tersebut berubah setelah Lipan melihat adiknya sangat disenangi dan disegani oleh para penduduk yang baru mendirikan pemukiman di daerah mereka. Penduduk setempat sangat dekat Konimpis karena sifatnya yang suka menolong dan senang bergaul dengan penduduk. Sedangkan Lipan justru sebaliknya, ia selalu menjauhi para penduduk. Sifat yang pemarah dan ketus, membuat penduduk selalu menghindar apabila bertemu dengannya. Akibat perbedaan perlakuan penduduk desa tersebut, lama-kelamaan timbul rasa benci, cemburu dan iri hati Lipan terhadap Konimpis adiknya.
Perselisihan antar keduanya mulai terjadi berawal pada waktu Konimpis yang biasanya menyadap air nira atau disebut saguer tidak meninggalkan sedikitpun saguer untuk sang kakak. Biasa Lipan sekembalinya dari berburu ia langsung meneguk saguer yang disediakan oleh adiknya Konimpis sebagai pelepas dahaga. Tapi saat itu tanpa sebab yang pasti, Konimpis menghabiskan seluruh saguer yang disadapnya itu. Sehingga kakaknya Lipan tak kebagian. Inilah yang menyulut amarah Lipan kepada sang adik. Pertengkaran keduanyapun tak terelakan lagi.
Pertengkaran mereka memuncak ketika pada suatu hari Konimpis ingin memasak makanan hasil pertanian di dalam sebuah bambu, ia kesulitan untuk meletakan bambu tersebut bila hanya ditopang oleh kayu.Untuk itu ia membutuhkan sebuah batu. Kebetulan tak jauh dari tempatnya memasak, dilihatnya Lipan lagi berbaring di bawah sebuah pohon. Ia bermaksud meminta bantuan kakaknya.
” Kak…ambillah sebuah batu di sungai untuk tempat memasak saya. Sebab kayu penopang untuk memasak makanan dalam tambelang ( bambu ) tidak kuat dan selalu patah dan roboh ” kata Konimpis sambil memohon kepada kakaknya Lipan. Mendengar permohonan adiknya itu, Lipan terbangun. Ia kesal karena tidurnya terganggu oleh suara adiknya. Kemudian ia berjalan menuju sungai tak jauh dari tempat mereka tanpa sepata katapun.
Tak seberapa lama kemudian Lipan datang dan meletakkan batu yang sangat besar dihadapan Konimpis. Konimpis menjadi kaget dengan perbuatan kakaknya. Karena batu yang sedang yang hanya untuk menopang bambu untuk memasak makanan.
” bagaimana kakak ini…. sayakan suruh untuk mengambil batu yang sedang saja sebagai penopang bambu tempat memasak ini… tetapi kakak membawa batu yang besar. Untuk apa batu itu !” kaya Konimpis dengan kesal. Melihat adiknya sedang kesal, lalu Lipan mendekati Konimpis dengan tingkah yang acuh tak acuh dn dibuat-buat.
” masih untung saya mau menolong mengambilkan batu untukmu. Kalau tidak mau pergi…. ambil batu sendiri yang kau ingini” sahut Lipan tak kalah garangnya. Hal ini dilakukan Lipan hanya untuk memamerkan kekuatan dan kesaktiannya dihadapan adiknya Konimpis. Itulah asal mula batu yang sekarang terletak disebelah kanan jalan menuju kebun Lopana dekat sungai Memea’ yang oleh penduduk setempat disebut Batu Lipan.
Perbuatan Lipan membuat Konimpis sakit hati dan ingin membalas perbuatan kakanya yang memamerkan kekuatan dan kesaktiannya. Kesempatan tersebut tiba manakala pada waktu Lipan ingin memasak hewan hasil buruannya disebelah utara Kuntung Tareran, ia menyuruh adiknya Konimpis untuk membantunya menyiapkan tempat memanggang.
”adik bantulah kakak mencari batu untuk memanggang hasil buruan kakak ini ”. Ujar Lipan tanpa memandang kepada adiknya karena ia lagi sibuk menguliti hasil buruannya. Konimpispun tak menjawab sepatah katapun. Ia lalu menuju kesebuah kali yang ada disekitar lembah itu. Tak lama kemudian Konimpis datang dengan membawa batu yang sangat besar dihadapan Lipan. Lipan menjadi kaget manakala Konimpis menjatuhkan batu yang dibawahnya dihadapan Lipan. Walupun Konimpis tubuhnya kecil dari lipan, ia juga mempunyai kesaktian yang tidak kalah hebatnya dengan sang kakak. Melihat perbuatan adiknya yang memamerkan kesaktiannya tersebut, Lipan menjadi marah.
” Adik…. kenapa kamu membawa batu yang besar itu !…. aku tak membutuhkan batu itu, aku membutuhkan batu yang sedang saja untuk menipang binatang buruan ini untuk di panggang ”. Kata Lipan dengan garang. Mendengar bentakan kakaknya itu, tiba-tiba Konimpis memukul batu itu dengan keras sehingga batu tersebut berbekas telapak tangannya.
” Mengapa kakak harus memarahi saya ? bukankah kakak juga pernah berbuat sama dengan saya pada waktu yang lalu? ” bentak Konimpis kepada kakaknya.
Mendengar bentakan adiknya tersebut, Lipan menjadi sangat marah dan berdiri mendekati adiknya.
” Kamu ini sudah berani membentak kakakmu….. ” seharusnya kamu harus menuruti segala apa yang kuperintahkan kepadamu…. ” kata Lipan dengan nyaringnya.
” Ah…. masa bodoh, kakak sendiri yang semula membuat gara-gara. Kakak merasa tersaingi karena aku disenangi penduduk dipemukiman yang baru itu, bukankah begitu ?” ujar Konimpis dihadapan kakaknya. Selanjutnya antara kakak beradik itu terus saja bertengkar dan puncaknya kedua kakak beradik tersebut terlibat perkelahian untuk memamerkan keaktian masing-masing.
Bekas tepukan tangan Konimpis di batu itu, hingga sekarang masih terdapat di daerah perkebunan wilayah desa Wiau Lapi yang oleh penduduk setempat dinamakan Batu Konimpis. Dan kebun terdapatnya batu Konimpis itu dinamakan Kobong Konimpis ( Kebun Konimpis ).
Nafsu untuk saling mengalahkan telah menguasai hati mereka. Perkelahian mereka berlangsung hampir dua hari du malam disepanjang bukit yang mereka sering berlalu lalang yaitu dari bukit yang sekarang disebut Kebun Lopana hingga ke puncak Kuntung Tareran, untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat dan sakti. Setelah perkelahian berlangsung sekian lama tanpa saling mengalahkan, akhirnya Konimpis memutuskan untuk menghindar sambil berlari ke arah bukit Lopana di sebelah selatan Kuntung Tareran. Tetapi kakaknya Lipan terus saja mengejar konimpis dengan pukulan-pukulan.
” Kamu mau lari kemana ah…. ?” bentak Lipan sambil melancarkan pukulan dan tendangan ke arah Konimpis.
” Kakak…. Saya sudah capek, berhentilah mengejar saya” kata Konimpis memohon kepada kakaknya.
” boleh saja asal kau harus tunduksegala kemauanku” kata Lipan yang terus mengejar Konimpis dengan pukulan.
Selanjutnya perkelahian antara kedua kakak-beradik tersebut yang mengeluarkan kesaktian masing-masing, membuat mereka sangat kelelahan. Inilah kesempatan Konimpis melepaskan diri dari hadapan Lipan dan berlari ke arah selatan. Dia tiba di sungai Memea’ sambil meminum air sungai yang jernih dan sejuk untuk melepas dahaga. Karena begitu lelahnya Konimpis akibat perkelahiannya dengan sang kakak yang berlangsung berhari-hari, badannya terasa sangat lelah. Ia lalu membaringkan diri di sebuah batu yang dahulu pernah diangkat boleh kakaknya untuk tempat memasak yang ada didekat sungai tersebut. Tiba-tiba Konimpis terkejut melihat karena hantaman kaki kakaknya yang keras menimpa batu tempat ia berbaring. Akibat hantaman kaki Lipan itu, batu itu berbekas telapak kaki Lipan yang besar. Bekas telapak kaki Lipan di batu itu kemudian dikenal dengan nama ”Kopat Lipan”.
Konimpis menjadi sangat marah karena kakaknya tetap saja ingin membunuhnya. Konimpis lalu berdiri di atas batu itu sambil berteriak kepada kakaknya yang sedang menghampiri dirinya.
” Kakak…. mengapa kakak terus mengejar aku, kelihatannya kakak ingin membunuh aku….adik kakak berdiri ” kata Konimpis dengan wajah sedih.
” Ya aku akan membunuhmu sebab kamu tak mau lagi menuruti kata-kataku dan berani melawan kakakmu ” ujar Lipan dengan suara yang penuh kemarahan.
” baiklah apabila kakak memang tetap ingin membunuhku, dan kakak tak lagi menganggap aku sebagai adik…..maka batu bekas telapak kaki kakak ini serta bekas telapak tanganku didaerah sebelah utara bukit ini adalah saksi atas permusuhan diantara kita ” Ujar Konimpis.
” Ya….kedua batu itu akan menjadi saksi bahwa kita tidak lagi bersaudara ” kata Lipan tak kalah garangnya.
Dan sejak saat itu kedua batu itu menjadi pesan kepada keturunan mereka bahwa hubungan persaudaraan mereka sebagai kakak beradik sudah putus. Untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu, mereka menaiki bukit Tareran yang merupakan puncak yang paling tinggi diantara bukit-bukit di daerah itu dan memilih tempat yang dianggap pusat diantara batu Lipan yang ada di selatan dan batu Konompis yang ada di bagian utara. Setiba diatas puncak bukit tersebut, masing-masing mengangkat sumpah (tumiwa) bahwa ”mereka bukan saudara lagi dan siap angkat perang”. Perselisihan antara Lipan dan adiknya Konimpis itu terjadi disaat para Tonaas sedang sibuk mengatur kedatangan pasukan Malesung untuk mengadakan penyerangan dan penghadangan terhadap ekspansi suku Mongondow yang telah mendirikan markasnya di wilayah kaki gunung Tareran yaitu di Pinamorongan.
Selanjutnya setelah mengangkat sumpah untuk saling bermusuhan antara Lipan dan Konimpis, maka Konimpis kemudian pergi ke arah barat di wilayah kekuasaan pasukan Bolaang Mongondow. Sedangkan Lipan setelah kejadian tersebut tetap melakukan perkerjaan sebagai pemburu binatang dan kemudian oleh penduduk tersebar kabar bahwa ia menjadi seorang kanibal pemakan manusia.
Bukit tempat Lipan dan Konimpis membuat perjanjian dan pesan tersebut kemudian oleh penduduk dikenal dengan istilah ’Taar Era’ berasal dari kata Taar = Pesan/Perintah dan Era = Mereka yang berarti ”Pesan Mereka”. Sehingga ”Taar Era” merupakan bagian dari asal usul nama bukit tersebut yaitu Kuntung Tareran (Kuntung = bukit/gunung). Kemudian setelah berdirinya beberapa desa yang berada disekitar Kuntung Tareran, maka daerah tempat desa-desa itu berdiri disebut dengan nama Wilayah Tareran yang kemudian menjadi sebuah kecamatan yang bernama kecamatan Tareran.
***************************************
LIPAN DAN KONIMPIS DALAM PERTEMPURAN
Setelah pertempuran yang menimbulkan banyak korban jiwa yang dialami oleh kedua belah pihak, pimpinan pasukan Kerajaan Bolaang Mongondow itu yaitu Bogani Bantong terlihat sangat sedih. Di dalam markasnya di Pinamorongan, Bogani Bantong yang baru tiba dengan sisa pasukannya yang berhasil meloloskan diri dari orang-orang gunung, kemudian memanggil beberapa tonawan serta beberapa prajurit kerajaan yang tidak ikut bertempur untuk berkumpul.
” Saudara-saudara………… saat ini kita mengalami pukulan yang berat dalam pertempuran di kaki pegunungan ini.” kata Bogani Bantong dengan wajah yang diliputi kesedihan.
” Tanpa kita ketahui, daerah itu telah dihuni oleh orang-orang gunung. Dan mereka sudah mengetahui akan maksud kedatangna kita untuk menduduki daerah mereka itu.” lanjut sang Bogani
” Saat ini kita harus menyusun kekuatan kembali apabila kita tetap ingin menduduki daerah pegunungan itu. Tetapi kekuatan kita sudah jauh berkurang.” lanjut Bogani Bantong sambil memandang para tonawan dan prajurit kerajaan.
” Apabila kita memaksakan diri untuk bertempur, kita akan mengalami kelelahan. Untuk itu kita harus secepatnya memanggil bala bantuan dari pasukan kerajaan yang berada di daerah Rano i Apo – Buyungon.” kata Bogani Bantong meyakinkan para tonawan yang hadir di tempat itu.
” Benar…. kekuatan orang-orang gunung tak seberapa bila berhadapan dengan pasukan kita yang jauh lebih besar dan kuat.” kata seorang tonawan lainnya yang tidak turut bertempur bersama dengan Bogani Bantong.
” Saudara-saudara, kita tidak boleh meremehkan kekuatan orang-orang gunung itu. Diluar perkiraan kita ternyata mereka mempunyai kekuatan dan keberanian yang jauh lebih tinggi dari pasukan kita. Mereka juga dipimpin oleh orang-orang yang sakti serta berpengalaman dalam pertempuran.” kata Bogani Bantong sambil merebahkan diri di sebuah balai-balai yang berada di tempat itu.
” Ya benar. Kekalahan kita alami dalam pertempuran ini juga diakibatkan karena kita lengah dan berpikir bahwa daerah itu tidak ada penghuni.” kata seorang tonawan yang ikut bertempur bersama Bogani Bantong.
” Bogani Bantong…….. kita sudah terlanjur berada di tempat ini untuk menjalankan perintah raja. Ada baiknya kita secepatnya meminta pengiriman pasukan kerajaan yang sedang berada di pesisir pantai Buyungon untuk menjalankan strategi kita merebut daerah pegunungan ini.” kata seorang tonawan.
Mendengar usulan itu, Bogani Bantong terdiam. Pikirannya melayang pada peristiwa pertempuran yang baru saja dialaminya, khususnya percakapannya dengan Tonaas Ma’abe.
” Baiklah…. tetapi sebelumnya, kita harus melaporkan kejadian ini kepada raja bahwa daerah yang menjadi tujuan kita telah diduduki terlebih dahulu oleh orang-orang gunung. Dan tentang pesan dari pemimpin pasukan Malesung bahwa mereka tidak menghendaki kita menduduki tanah yang telah mereka diami di pegunungan ini.” kata Bogani Bantong. Ia lalu memanggil salah seorang prajurit yang tugasnya sebagai kurir pembawa pesan untuk disampaikan kepada raja dan pasukan yang berada di pesisir pantai Buyungon.
” Pergilah kamu ke teluk dan sampaikan pesan ini kepada raja.” kata Bogani Bantong sambil menyerahkan secarik surat dari kulit binatang, kemudian berlalu dari hadapan para tonawan dan prajuritnya.
Beberapa hari kemudian sang prajurit pengantar pesan kembali ke markasnya di Pinamorongan dan menghadap Bogani Bantong.
” Tuan…. Raja memerintahkan tuan untuk tetap merebut wilayah dataran tinggi pegunungan ini. Beliau sudah memerintahkan Bogani Ojotang untuk membantu tuan dan mengirim pasukan dengan persenjataan yang lengkap. Tuan juga mendapat bantuan dari seorang yang bernama Konimpis sahabat raja yang sangat sakti yang sangat mengetahui dengan jelas situasi dan kondisi daerah pegunungan bagian timur itu karena ia berasal dari daerah tersebut. Ia akan menjadi pemandu pasukan kita menuju derah pegunungan itu.” kata sang pembawa pesan sambil menyerahkan sebuah gulungan kertas yang berisi titah raja sambil berlutut dihadapan Bogani Bantong. Setelah menerima gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang itu, Bogani Bantong lalu membacanya. Terlihat jelas diraut mukanya bahwa ia merasa sedih akan tugas yang baru saja diterimanya. Sebab ia tak menghendaki lagi pertempuran yang hanya menimbulkan penderitaan dan pertumpahan darah apalagi Raja mengutus adiknya Ojotang untuk membantu dirinya. Tetapi perintah raja adalah mutlak dan harus dilaksanakan.
Pada keesokan harinya pasukan bantuan yang dikirim oleh Raja di bawah pimpinan Ojotang tiba di markas Bogani Bantong. Ia datang bersama Konimpis. Mereka lalu memasuki markas dan disambut oleh Bogani Bantong. Bogani Bantong sangat gembira berjumpa dengan adiknya yang sudah lama berpisah karena tugas. Dalam kegembiraannya itu didalam hatinya diliputi rasa kekuatiran. Ia lalu mengajak adiknya menuju tenda tempat tinggalnya.
” Kakakku… kelihatannya hati kakak merasa sedih. Bukankah kakak harus bergembira bahwa aku yang diutus untuk membantu kakak dalam menghadapi pertempuran ini?” tanya Ojotang dengan muka yang diliputi kebingungan. Mendengar pertanyaan adiknya itu, Bogani bantong lalu mempersilahkan adiknya duduk dahulu sambil mengambil sebuah cangkir lalu diisi dengan air dari teko yang tergantung disamping tempat tidurnya. Ia lalu menyerahkan cangkir itu kepada adiknya lalu menjelaskan apa yang membuatnya sedih dalam menjalankan perintah Raja.
Setelah mendengar penuturan kakaknya, Ojotang lalu membesarkan hati sang kakak yang sedang diliputi dengan perasaan bimbang itu.
” Kakakku Bantong….. kita laksanakan saja titah raja kita, itulah tugas kita. Untuk selanjutnya apapun yang terjadi….. kita sudah melaksanakan perintah raja itu dengan sebaik-baiknya apapun resikonya.” kata Ojotang menyakinkan kakaknya. Mendengar perkataan adiknya Ojotang itu Bogani Bantong terdiam sejenak. Memang benar apa yang dikatakan adiknya bahwa mereka hanya menjalankan perintah raja walaupun hal itu bertentangan dengan kehendak mereka.
” Adikku… bukankah kamu datang bersama dengan seseorang tadi?” tanya Bogani Bantong mengalihkan pembicaraan mereka.
” Oh iya kak….. yang bersama saya tadi adalah Konimpis. Ia tinggal dan besar di pegunungan yang menjadi tujuan kita itu.” kata Ojotang sambil memanggil Konimpis yang masih berada diluar tenda. Tak lama kemudian masuklah Konimpis kedalan tenda sambil memberikan salam dan menghampiri Bogani Bantong. Bogani Bantong melihat seorang pemuda dengan wajah yang halus serta memiliki mata yang tajam sebagai tanda bahwa pemuda ini bukanlah pemuda biasa. Bogani Bantong lalu berdiri dan menyambut Konimpis yang ia tahu merupakan sahabat rajanya. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah terlibat pembicaraan sambil makan dan minum bersama. Percakapan mereka tak jauh dari pengalaman Bogani Bantong dalam pertempuran yang baru saja dialaminya.
” Konimpis…. apakah kamu mengenal Dotu Ma’abe” tanya Bogani Bantong sambil tangannya mengambil sebuah Lansat yang ada di depannya. Mendengar pertanyaan dari Bogani Bantong itu, Konimpis kelihatan terkejut dan bertanya-tanya, dari mana Bogani Bantong mengenal Dotu Ma’abe?.
” Bogani Bantong….. saya memang mengenal Dotu Ma’abe. Dia bersama-sama dengan kedua kawannya Pisek dan Seke yang mendirikan pemukiman di pegunungan tempat saya dan kakak saya tinggal.” kata Konimpis dengan tenang menjawab pertanyaan Bogani Bantong.
” Jadi kamu mengenal dia? Coba ceritakan apa yang kamu ketahui tentang dia.” kata Bogani Bantong ingin mengetahui lebih jauh mengenai Dotu Ma’abe. Mendengar permintaan Bogani Bantong itu, Konimpis menjadi sangat hati-hati menjawabnya. Sebab dalam hatinya ia juga tak mau membeberkan semua yang ia tahu tentang Dotu Ma’abe. Dotu Ma’abe juga adalah seorang Dotu yang sangat ia kagumi dan hormati.
” Saya tak mengetahui persis mengenai pribadi Dotu Ma’abe. Sepanjang yang saya tahu bahwa dia adalah seorang Tonaas yang sangat sakti dan mengetahui serta dapat meramalkan apa yang akan terjadi kemudian.” kata Konimpis yang kemudian menceritakan perihal pertemuannya dengan Tonaas Mamarimbing pada waktu yang lalu.
Bogani Bantong dengan serius mendengar penuturan Konimpis. Dalam pikirannya ia mulai mengkagumi akan kepribadian Tonaas Mamarimbing. Disamping itu ia harus lebih waspada terhadap orang-orang gunung di bawah kepemimpinan Tonaas Mamarimbing yang telah terbukti pada pertempuran pertama pasukannya dapat dipukul mundur dan menderita kekalahan yang besar. Karena begitu asyiknya mereka bercakap-cakap, tak disangka hari telah larut malam.
” Baiklah… adikku Ojotang dan kamu Konimpis, beristirahatlah. Besok kita harus mengumpulkan tenaga dan membahas lagi rencana kita untuk merebut puncak bukit itu.” kata Bogani Bantong sambil mengantar Ojotang dan Konimpis keluar dari tendanya.
Pada keesokan harinya, Bogani Bantong Ojotang lalu menyusun rencana dan mempersiapkan pasukannya dengan lebih matang. Mereka lalu mengadakan latihan serta menyusun strategi penyerangan menghadapi orang-orang gunung untuk merebut dataran tinggi Pegunungan Tareran dari tangan orang-orang gunung. Apalagi dibantu oleh Konimpis yang mengetahui dengan jelas situasi daerah yang akan mereka duduki. Sementara persiapan pasukan dilakukan, Bogani Bantong lalu mengirimkan beberapa prjurit pengintai menuju ke daerah sekitar pertempuran pertama untuk memata-matai kegiatan orang-orang gunung. Dari hasil pengintaian itu diketahui bahwa pasukan orang-orang gunung hanya terpusat disekitar wilayah sebelah barat puncak gunung Tareran. Tak terlihat adanya tanda-tanda datangnya bantuan dari luar. Jadi kekuatan mereka tak lebih dari kekuatan yang ada pada pertempuran pertama.
Mengetahui akan keadaan dan kondisi dari pasukan orang-orang gunung itu maka disusunlah strategi untuk menyerang terlebih dahulu kedudukan orang-orang gunung dari dua arah yaitu dari arah barat menyusuri jalan yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pasukan Mongondow pimpinan Bogani Bantong, dan dari arah utara tempat dimana Konimpos sering berlalu-lalang. Usaha penyerangan dari dua arah ini akan dilakukan serempak sebelum pasukan Malesung mendapat bantuan dari Tumompaso. Pasukan pertama yang akan menyerang dari arah barat akan dipimpin langsung oleh Bogani Bantong, sedangkan penyerangan dari arah utara akan dipimpin oleh Ojotang yang dibantu oleh Konimpis sebagai petunjuk jalan. Dengan perhitungan yang cermat akan kekuatan pasukan mereka yang ada sekarang, mereka sangat yakin akan dapat memenangkan pertempuran ini walapun dengan menghadapi perlawanan sengit dari orang-orang gunung yang terkenal pemberani dan tak pernah gentar itu.
*******
Pada pertempuran pertama antara pasukan Malesung dengan pasukan dari kerajaan Mongondow, Lipan tak ikut serta dengan pasukan Minahasa. Setelah pertengkarannya dengan adiknya Konimpis, ia menjadi pemdiam dan mudah marah, sehingga tidak ada seorangpun yang ingin mengusiknya. Ia sering bepergian jauh untuk mengejar dan mencari adiknya yang pergi ke arah barat. Mengetahui adiknya berada bersama-sama dengan pasukan Mongondow yang akan menyerbu Pegunungan Tareran, ia lalu tergerak hati untuk membantu pasukan Minahasa agar dapat bertemu dengan Konimpis. Ia tak menyangka bahwa sang adik telah menjadi kaki tangan Raja Mongondow untuk memerangi saudara-saudara sendiri.
Lipan lalu memutuskan untuk mencegat adiknya dan bergegas ke arah puncak bukit Tareran dan bergabung dengan para warany dan waraney Minahasa.
Lipan lalu mengambil sisi bagian utara kuntung Tareran dan bersembunyi dibawah salah satu pohon sagu yang tengahnya sudah kosong karena isinya telah diambil. Ia menunggu kedatangan Konimpis. Ia memilih pohon seho dijalan yang dahulu sering digunakan oleh Konimpis apabila menaiki puncak kuntung Tareran dari arah utara. Ia mendapat kabar bahwa Konimpos akan datang duluan untuk membuka jalan bagi pasukan Mongondow Menyerbu, karena Konimpis mengetahui seluk beluk lokasi sekitar kuntung Tareran. Lipan yakin bahwa Konimpis akan menggunakan jalan ini apabila ia datang kelak.
Seperti perkiraan Lipan, Konimpis lalu mengambil jalan yang biasa dilewatinya yaitu daerah sebelah utara kuntung Tareran yang sangat dikenalinya. Lipanpun menunggu kedatanngan adiknya itu dengan bersembunyi di salah satu pohon seho (sagu) yang roboh yang banyak terdapat disepanjang jalan yang akan dilalui oleh Konimpis.
Pada saat Konimpis tiba dan menginjakkan kakinya di pohon seho yang roboh tempat persembunyian Lipan, sehingga Lipan merasakan bahwa pohon seho tempat dirinya bersembunyi itu tiba-tiba bergoyang. Ia mengetahui bahwa Konimpislah yang sedang menginjakkan kakinya di atas pohon seho, tiba-tiba Lipan mengayunkan kearnya yaitu alat pembelah kayu dari nibong yang dipegangnya ke kaki Konimpis. Konimpis menjadi sangat terkejut dan tak sempat menghindar dari serangan yang datangnya tiba-tiba itu. Ia merasa kakinya sangat sakit dan mati rasa sehingga keseimbangan tubuhnya goyah. Ia pun roboh ke tanah didekat persembunyian Lipan. Melihat adiknya roboh kesakitan, Lipan lalu menyerang Konimpis. Konimpis lalu berusaha mempertahankan dirinya walaupun dengan kaki yang patah. Melihat bahwa yang menyerang dirinya adalah kakaknya sendiri, ia menjadi terkejut dan berusaha untuk menghindar. Tetapi Konimpis tak dapat berbuat banyak karena serangan Lipan datangnya bertubi-tubi. Ia tak mampu lagi mempertahankan dirinya dari terjangan Lipan yang telah banyak mengenai tubuhnya. Tak lama kemudian Konimpis roboh dengan tubuh yang bersimbah darah. Lipan lalu menghentikan serangannya. Ia merasa tidak tega untuk membunuh saudara kandungnya sendiri.
” Konimpis……. aku tak kan membunuhmu, tetapi engkau harus meninggalkan daerah ini untuk selamanya dan jangan kembali lagi”. Kata Lipan yang berniat untuk meninggalkan Konimpis begitu saja. Melihat Lipan akan meninggalkan dirinya, Konimpis memohon kepada kakaknya untuk menolongnya.
” Lipan…….. aku tak bisa……… lagi berdiri, bagaimana……… aku meninggalkan……… daerah ini ?” kata Konimpis dengan suara terputus-putus menahan rasa sakit.
” Bawalah aku……… menjauhi tempat ini ”. Kata Konimpis memohon kepada kakaknya. Lipan lalu menurut apa yang diminta oleh adiknya. Ia mendekati Konimpis lalu memopong adiknya dengan punggungnya sambil menuruni bukit dan menjauh dari pertempuran yang sedang berlangsung antara orang Minahasa dan Mongondow.
” Adikku…….. mengapa engkau membantu orang-orang Mongondow untuk merebut tanah kita ini ?” tanya Lipan kepada Konimpis yang sedang digendongnya itu. Mendengar pertanyaan kakaknya itu Konimpis hanya diam sambil menahan sakit. Melihat adiknya tidak menjawab pertanyaannya, timbul rasa jengkel didalam hatinya.
” Konimpis jawablah…….. kenapa hal itu kamu lakukan?”. kata Lipan dengan menahan perasaan jengkelnya itu. Konimpis tetap membisu. Kejengkelan Lipan memuncak. Tiba-tiba tubuh Konimpis dihempaskan ke tanah. Tubuh Konimpis terguling dan terlempar masuk ke dalam jurang. Lipan tak menyangka bahwa akibat hempasan itu tubuh Konimpis terlempar ke dasar jurang sehingga menyebabkan debu-debu berterbangan. Melihat hal tersebut, perasaan Lipan menjadi cemas jangan-jangan adiknya Konimpis telah mati didasar jurang. Ia lalu berusaha melihat ke dasar jurang, tetapi penglihatannya terhalang oleh debu-debu yang berterbangan. Tapi tak beberapa lama kemudian Lipan mendengar suara rintihan adiknya yang memanggil dirinya dari dasar jurang.
” Lipan…… tolong aku…….. aku tak kuat lagi…… ” mendengar adiknya memanggil-manggil dirinya dari dasar jurang, Lipan lalu berlari menuruni bukit untuk menjemput adiknya keluar dari jurang tersebut. Pada saat ia tiba didasar jurang itu, ia melihat tubuh adiknya tersangkut pada sebuah akar pohon diatas sebuah sungai yang mengalir dengan derasnya diantara batu-batu yang besar. Lipan lalu berusaha untuk menolong adiknya tersebut, tetapi pada saat tangannya akan menarik adiknya keluar, tiba-tiba akar pohon tempat tergantungnya Konimpis patah. Tubuh Konimpis meluncur kebawah dan menimpah dengan keras diatas sebuah batu yang besar. Setelah tubuh Konimpis menimpa batu itu, darahnya mengalir membasahi seluruh sungai sehingga sungai tersebut merah oleh darah. Inilah cikal bakal nama dari sungai Lelema yang asal kata dari ”Lema” yang artinya warna merah yang keluar bila mengunyah buah pinang.
Melihat tubuh adiknya jatuh diatas bebatuan sungai itu dan banyaknya darah yang keluar dari tubuh adiknya, Lipan menjadi sangat terkejut. Ia lalu menuruni bukit dan masuk kedalam sungai. Ternyata adiknya Konimpis masih hidup. Lipan lalu mengangkat tubuh adiknya keluar dari dasar sungai itu. Melihat keadaan adiknya sudah sangat lemah dan tak akan bertahan lama, timbullah penyesalan dalam hati Lipan. Ia lalu membawa adiknya ke arah Kuntung Tareran tempat mereka mengangkat sumpah untuk saling bermusuhan dan tidak bersaudara lagi.
Setibanya diatas puncak Kuntung Tareran Konimpis akhirnya berkata kepada kakaknya Lipan.
” Kakakku Lipan…….. aku tak kuat lagi untuk hidup” kata konimpis dengan suara yang sangat lemah dan setengah berbisik.
” Oleh sebab itu……. maafkan aku…….. aku sering menyakiti ka….. kak” kata Konimpis semakin lemah.
” Tidak adikku…….. akulah yang salah, aku begitu angkuh dan hanya mementingkan diriku sendiri. Oleh sebab itu maafkanlah juga aku yang selalu kasar kepadamu…….. ” kata Lipan penuh penyesalan.
” Kakak…….. kita berdua memang bersalah, biarlah ini jadi pelajaran pada semua orang…… bahwa permusuhan tak berguna dan hanya membawa malapetaka ……… ” kata Konimpis berusaha untuk bertahan.
” Untuk itu permusuhan diantara kita…….., permusuhan diantara saudara-saudara kita Malesung dengan saudara kita Mongondow harus dihentikan. Dan ini tugas kamu untuk menghentikannya……. ini permintaanku yang terakhir”. Kata Konimpis dengan suara yang sangat lirih dan semakin lemah. Lipan tak seperti biasanya dengan wataknya keras tetapi setelah mendengar permintaan adiknya itu hatinya menjadi luluh dan tak kuasa menahan tangisnya. Untuk itu demi memenuhi permintaan adiknya itu, lipan lalu meyakinkan Konimpis bahwa ia akan berusaha keras untuk menghentikan permusuhan tersebut.
Pada saat nafas Konimpis mulai lemah, Lipan melihat seperti ada sesuatu yang akan disampaikan juga kepada lipan. Lipan lalu mendekatkan telinganya kearah mulut Konimpis.
” Kakak……. pergi…….. lah……. ke Mongondow……… carilah calon…….. isteri ku……. Yang…… aku…… tinggalkan……. Diatas sebuah bukit…….” Suara Konimpis tak terdengar lagi. Lipan mengguncang-guncangkan tubuh adiknya tetapi tetap saja tubuh konimpis tak bergerak lagi. Konimpis akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dipelukan kakaknya Lipan. Melihat adiknya Konimpis sudah meninggal, Lipan lalu mengangkat tubuh Konimpis dan berteriak dengan suara yang keras sekali untuk menumpahkan segala kesedihannya.
*****************************
AKHIR KEHIDUPAN LIPAN DAN KONIMPIS
Suara teriakan Lipan yang menggetarkan tanah disekitar puncak bukit Tareran terdengar hingga ketelinga para Tonaas dan pasukannya yang baru saja kembali dari pengejaran terhadap orang-orang Mongondow. Mendengar teriakan itu, mereka secepatnya kembali ke arah bukit Tareran. Di puncak bukit, mereka melihat Lipan sedag memeluk tubuh adiknya yang telah terkulai lemas. Kedatangan para tonaas dan pasukannya membuat Lipan menghentikan tangisannya. Lipan lalu menyampaikan pesan terakhir adiknya.
” Saudara-saudaraku……..maafkan adikku apabila ia membantu pasukan Mongondow memerangi kita. Tapi adikku tidak bermaksud demikian, ia juga menyampaikan pesan perdamaian kepada Raja Mongondow agar mengurungkan niatnya untuk menduduki tanah leluhur kita ini ” kata Lipan dengan muka yang diliputi dengan kesedihan.
” Untuk itu hentikanlah permusuhan ini sebab pertikaian dan permusuhan tidak dapat menyelesaikan masalah dan hanya menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Itulah amanat adikku Konimpis dan pesanku juga ”. Setelah menyampaikan pesan tersebut Lipan lalu pergi meninggalkan para tonaas dan pasukannya sambil membawa tubuh adiknya menuruni puncak Tareran ke arah barat. Sejak saat itu Lipan seperti menghilang ditela bumi.
Bukit tempat mereka menerima pesan perdamaian dari Lipan dan Konimpis kemudian dikenal dengan nama ”TAAR ERA” yang berarti ”pesan mereka” dan kemudian menjadi Kuntung Tareran.
Setelah menyampaikan pesan kepada para Tonaas dan terusan Malesung, Lipan lalu menguburkan Konimpis adiknya di tempat yang sekarang disebut Kobong Tinanak (Kebun Tinanak). Kata ”Tinanak” berasal dari kata ”Tinanaan” yang berarti ”tempat kuburan” karena konon disitulah Konimpis dikuburkan oleh kakaknya Lipan dan kuburan itu juga dipakai untuk menguburkan para Warany dan Waraney serta pasukan Mongondow yang tewas dalam pertempuran tapal batas di daerah pegunungan Tareran.
Selanjutnya setelah Konimpis dikuburkan, Lipan yang sangat bersalah dan menyesal dan ingin merubah sikapnya. Ia juga jadi sangat penasaran mengenai pesan adiknya yang terakhir bahwa adiknya meninggalkan seorang gadis disebuah bukit di daerah Mongondow. Lipan tak mengetahui persis nama bukit tempat gadis itu tinggal. Ia lalu berusaha mencari bukit itu ke daerah Mongondow. Berhari-hari ia mencari keterangan mengenai bukit itu, tetapi hampir semua orang yang ditemuinya tak memberikan keterangan yang jelas. Ia juga sempat bertemu dengan raja Bolaang-Mongondow dan menyampaikan pesan perdamaian dari adiknya itu. Sang raja terlihat sangat sedih mendengar Konimpis sahabatnya sudah meninggal. Belum lagi kesedihannya terhadap kekalahan para pasukannya di pegunungan Tareran. Yang banyak menimbulkan korban jiwa para prajuritnya sehingga membuyarkan ambisinya untuk merebut tanah Malesung.
Setelah menyampaikan pesan tersebut kepada raja, akhirnya Lipan kembali kepegunungan Tarean. Ia lalu menyempatkan diri mengunjungi kuburan adiknya. Pentesalanpun menyelimuti dirinya karena pesan terakhir adiknya belum dapat ia laksanakan. Akibat penyesalannya, sudah berhari-hari ia tidak makan dan minum.
Pada saat tubuhnya sangat lelah dan haus, ia melihat ada seorang anak kecil seding batifar saguer / kumeet (mengambil air nira) ia memohon agar anak tersebut memberinya minum saguer. Melihat yang meminta itu adalah Lipan yang didengarnya adalah seorang yang jahat yang membunuh adiknya sendiri, anak itu menjadi takut. Anak itu lalu turn melalui batang daun Nira (aren) yang menjulur kearah telagah (kolam) dan menjatuhkan dirinya kedalam telaga. Melihat anak itu jatuh kedalam telag, Lipan lau memasuki telaga tersebut untuk menolongnya. Ia lalu menghampiri tempat dimana anak itu jatuh. Tetapi tiba-tiba anak itu dari dasar sungai dengan kolombik (keong) di tangan menusuk telapak kaki Lipan. Lipan menjadi sangat terkejut merasakan kakinya menusuk sesuatu. Pada saat tubuhnya membungkuk untuk melihat kakinya yang tertusuk itu, secara tiba-tiba anak itu keluar dari dasar kolam dan menggores ujung keong yang tajam itu keperut Lipan. Lipan tak menyangka bahwa ia akan ditusuk dengan keong oleh anak kecil itu. Tusukan keong kekakinya membuat hilangnya kekebalan tubuh dan kesaktiannya ditamba lagi sudah berhari-hari ia tidak makan dan minum. Akhirnya Lipanpun menemui ajalnya dengan perut terburai keluar ditelaga itu.
Inilah akhir dari kehidupan Lipan dan Konimpis yang melegenda dan menjadi cerita turun-temurun penduduk Tareran. Pembuktian bahwa cerita legenda tersebut pernah hidup, terlihat pada batu yang dikenal oleh penduduk desa Rumoong Langsot dengan nama ”Kopat Lipan” yang artinya langka kaki Lipan yang berbentuk seperti jejak kaki dengan ukuran besar yang lokasinya disekitar sungai (kali/kuala) Memeak diperbatasan wilayah kepolisian desa Langsot dan Rumoong Atas sekarang. Juga batu Konimpis diperkebunan yang disebut kebun Konimpis wilayah kepolisian desa Wiau Lapi.
**********************************************************
Setelah pertempuran di kaki pegunungan Tareran berakhir, para Tonaas dan pasukannya termasuk Tonaas Mamarimbing, Sage dan Palanditerus menuju kearah barat bersama-sama dengan para Waraneydan Warany. Mereka terus berjuang menghalau orang-orang Mongondow dari tanah Malesung bagian Selatan. Beberapa tahun kemudian para tonaas dan pasukan Malesung dapat mengusir serta menduduki sebagian besar tanah Malesung bagian selatan hingga ke Kuala Rano i apo yaitu sungai di neg’ri Buyungon-Amurang.
Pertikaian yang berlangsung antara pasukan Malesung dengan pasukan Kerajaan Bolaang-Mongondow berakhir dengan perdamaian, dan ditetapkan tapal batas daerah masing-masing yaitu diseberang bagian barat Kuala Rano i apomerupakan Wilayah kekuasaan kerajaan Bolaang-Mongondow, dan disebelah timur & selatan kuala Rano i apo merupakan wilayah Malesung.
Setelah perdamaian tercipta antar kedua suku bangsa itu, Bogani Bantong dan Ojotang lalu mengundurkan diri dari jabatan mereka sebagai pemimpin pasukan kerajaan dan hidup dengan tenang dipegunungan Mongondow di daerah yang sekarang disebut Bilalang.
Begitupun para tonaas, teterusan, walian serta para warany dan waraney kembali ke daerah asal masing-masing guna membangun tanah Malesung yang telah di porak-poranda akibat peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Konon Tonaas Mamarimbing [Dotu Ma’abe] dan Tonaas Palandi (Dotu Pisek) dan Tonaas Sage (Dotu Seke’) kembali ke tempat leluhur mereka di Tounkibut dan dari sana mereka lalu ke beberapa daerah untuk membangun neg’ri- neg’ri baru Tountemboan di tanah Malesung yang subur.
- Sage lalu membangun pemukiman di pawuwukan yang sekarang bersama Desa Wuwuk kec. Tareran.
- Waany, Lampus dan Tambelaka membuka pemukiman di Lowian yang sekarang disebut Desa Rumoong atas kec. Tareran.
- Palandi membangun pemukiman di daerah pantai Tumpaan yang sekarang bernama Desa Matani kec. Tumpaan.
- Tonaas Kariso lalu mendirikan pemukiman di Tounkibut bawah yang sekarang disebut Kawangkoan.
- Tonaas Kopero dan Pandeirot kembali ke Kay Wasian yang sekarang dikenal dengan nama Desa Tombasian Atas kec. Kawangkoan.
- Tonaas Karengis dan Piai membangun neg’ri Kayuwi kec. Kawangkoan.
- Pada masa selanjutnya dari anak-cucu para Tonaas Kaywasian (Tombasian Atas) yaitu Tonaas Mamoto dan Kaparang lalu membangun pemukiman didaerah pesisir teluk Amurang yang sekarang dikenal degan Desa Pondang Tombasian Bawah. Dan anak-cucu dari para tonaas Langkowan yaitu Tonaas Matindas dan lain-lain membangun beberapa neg’ri di Langkowan yang sekarang disebut Langowan.

In Memoriam My Lovely Dog "LOU" Good Bye Buddy I Love You...!!!