--- Buah Perseteruan Waraney Sedarah ---
Peristiwa besar yang terjadi di masa lalu, sering dianggap sebagai sebuah titipan sejarah. Tak jarang, hal tersebut membentuk karakter dan sifat dasar Tou (orang, red) Minahasa. Bahkan 'pesan' yang dititipkan ini, dijadikan penanda identitas setiap daerah di Tanah Minahasa.
Seperti halnya Tou Minahasa di Desa Rumoong Atas, tepat di kaki 'Nialeran'. Penduduk yang tinggal di sekitaran Pegunungan Tumareran, begitu identik dengan kata 'Taar Era'. Dua kata ini, sangat membekas dalam diri dan ingatan orang Tareran.
Dolfie Karundeng, tokoh masyarakat Desa Rumoong Atas membeberkan sepenggal kisah dibalik dua kata ini. 'Taar Era' (pesan mereka, red) adalah titipan sejarah, buah pertempuran dua Waraney sedarah, yang dulunya bermukim di Pegunungan Tareran. Kakak-beradik ini dikenal dengan nama Lipan dan Konimpis.
"Lipan pe badan tinggi besar, kong muka jaha'. Dia pe kerja hari-hari berburu. Konimpis beda skali. Dia pe badan kecil, gaga kong bae-bae. Konimpis pe kerja hari-hari pi kobong kong batifar saguer (air nira, red)," kisahnya.
Awalnya Lipan dan Konimpis hidup rukun dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tetapi hal tersebut berubah setelah Lipan melihat adiknya sangat disenangi dan disegani oleh para penduduk yang baru mendirikan pemukiman di daerah mereka. Sedangkan Lipan justru sebaliknya, ia selalu menjauhi para penduduk. Sifat yang pemarah dan ketus, membuat penduduk selalu menghindar apabila bertemu dengannya.
"Lantaran cemburu, Lipan soo ja mulai marah pa Konimpis. Satu waktu pas Lipan pulang berburu, mo cari saguer mar konimpis soo bekeng abis. Kong bakale dorang dua," beber Karundeng.
Pertempuran kedua Waraney ini berlangsung cukup lama. Kejar-kejaran dilakoni keduanya di sekitaran kuntung (perkebunan, red) Tareran. Pertempuran ini, membuat Konimpis kelelahan dan memilih lari ke daerah Mongondow. Dan bergabung dengan raja Bogani Bantong untuk menyerang tanah Minahasa. Ketika kembali ke 'Nialeran' Konimpis dicegat oleh Lipan. Konimpis akhirnya dilumpuhkan Lipan dan akhirnya menyebabkan Konimpis hampir menemui ajalnya.
"Pas lia depe ade somo mati lantaran dia, Lipan saki hati kong minta maaf pa Konimpis. Mar Konimpis cuma bilang dorang dua salah. Dorang pe permusuhan cuma bawa perkara. Dia minta Lipan musti pesan pa penduduk, jangan sampe ada permusuhan, apalagi kalu basudara. Itu Konimpis pe permintaan sebelum dia mati," ujarnya. "Pesan itu yang akhirnya torang kenal Taar Era," pungkas Karundeng.
This is a blog to discuss everything that exists in District Tareran South Minahasa Regency of North Sulawesi Province
Tuesday, December 3, 2013
Monday, December 2, 2013
Mangawok vs Mangolo
Aktualisasi Mapalus di Kaki 'Nialeran'
Gotong royong, sering dianggap salah satu jalan keluar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di tanah Toar-Lumimuut, perilaku ini bahkan membudaya dan dipercaya memiliki makna yang dalam. 'Mapalus', begitulah orang yang tinggal di tanah Malesung menyebut aktivitas ini. Konsep saling membantu itu, telah mengakar dalam kehidupan Tou (orang, red) Minahasa.
Namun pergeseran demi pergeseran budaya yang terjadi belakangan, dianggap secara perlahan mengikis makna dan nilai 'Mapalus' itu sendiri. Penetrasi kaum kapitalis dituding sebagai pemantik. Kini, Tou Minahasa terkesan enggan menjalankan 'titipan' leluhur ini.
Di desa Rumoong Atas Kecamatan Tareran misalnya. Berbagai bentuk 'Mapalus' mulai ditinggalkan Tou Minahasa. Namun, di balik itu, orang muda di kampung ini, secara tidak langsung mulai menjalankan sistem Mapalus yang kontekstual.
Mangawok dan Mangolo, dinilai sebagai aktualisasi Mapalus di kaki 'Nialeran'. Mangawok dan Mangolo adalah dua teknik berburu Kawok (tikus, red) yang kian digandrungi. Lewat kegiatan ini, makna dan nilai 'Mapalus' dikembangkan pemuda-pemuda di desa ini.
Berty Pandey seorang pemuda yang dikenal cukup handal dalam perburuan ini, kepada Media Sulut mengaku melakoni perburuan ini sebagai bentuk 'Mapalus'. Hal ini bahkan mulai membudaya di kehidupan kaum muda di Tareran.
"Biasanya kalu ada torang pe tamang da mo bekeng acara, mo ulang tahun sampe mo pesta kaweng, torang slalu bajalang. Biar cuma mo dapa brapa ekor for mo kase bantu," terangnya.
Konsep ini mulai dianggap sebagai kebutuhan. Karena merasa hanya mampu memberikan bantuan seperti itu, kesadaran para pemuda terus bertumbuh. Untuk itu Pandey mengaku akan terus menjalankan tradisi ini. Selain sebagai alat pemersatu, Mapalus dianggap tidak akan hilang.
"Soo itu, selama masih kuat-kuat, kita deng tamang-tamang blum mo brenti Mangawok deng Mangolo. Selain Mapalus ndak mo ilang, cuma lewat ini tu kebersamaan torang ja jaga. Kalu ja bajalang samua masalah rupa ja ilang. Apalagi pas pulang kong depe malam tu hasil buruan, torang momasa kong makang sama-sama. Banyak persoalan orang muda yang akhirnya ja kelar di meja makang," pungkas Pandey.
Saturday, November 9, 2013
Komitmen Kongres Kaum Muda Minahasa di Kora-kora
KONGRES KAUM MUDA MINAHASA
“Kaum Muda Minahasa Dalam Gelora Zaman”
Kora-kora, 1-3 November 2013
Bermula dari kesadaran, membentuk gagasan dan mewujud dalam tindakan, untuk Minahasa. Kami, kaum muda Minahasa yang datang dari berbagai penjuru tanah Minahasa, di tempat ini, Kora-kora, tanggal 1-3 November 2013 telah berkumpul dan membicarakan gagasan dan komitmen bersama untuk Tanah Minahasa dan segala dinamika yang terjadi dalam kehidupan kami, Tou Minahasa yang berpijak di atas tanah anugerah Opo Kasuruan Wangko.
Tanah ini telah memanggil kami generasi Bangsa Minahasa untuk kembali menegaskan dengan penuh kesadaran, komitmen dan harapan bersama kami. Di Kora-kora ini, kami menyatakan “Tiwa”, sebagaimana leluhur kami telah melakukannya untuk menjaga kehidupan di atas tanah ini. Setelah berkumpul bersama, kami merumuskan dan menyatakan komitmen bersama untuk bangsa Minahasa :
1. Tou Minahasa, adalah siapapun dia yang mau hidup di atas tanah ini, percaya atas kehidupan yang diberi tanah ini dan mau dengan segala daya, cara dan keutuhan diri menjaga tanah ini. Bangsa Minahasa adalah rumah kami bersama yang telah dibentuk oleh sejarah, pengetahuan warisan leluhur, dan kehadiran kami dalam kemasing-mansingan kami.
Dengan gagasan ini, kami menerima amanat kongres yang akan diwujudkan dengan segala cara dan perangkat kami masing-masing :
Menyebarkan gagasan dan semangat keminahasaan kepada siapapun dia yang berpijak di atas tanah ini melalui lembaga pendidikan, lembaga agama, organisasi-organisasi keminahasaan.
2. Sebagai Tou Minahasa, manusia yang menyatu dengan tanah ini, menegaskan komitmen, dengan segala kemampuan, cara dan gagasan kami masing-masing untuk menjaga kemerdekaan diri dan tanah ini dari segala usaha peniadaan kemanusiaan, ingatan dan dari segala usaha memisahkan kami dengan tanah ini.
Dengan gagasan ini, kami menerima amanat kongres yang akan diwujudkan dengan segala cara dan perangkat kami masing-masing.
Melakukan pembelaan terhadap usaha-usaha peniadaan eksistensi kami, Tou Minahasa. Dengan pendekatan dan perhimpunan kami masing-masing merumuskan program-program advokasi atas bahaya kuasa politik dan ekonomi yang mengancam tanah dan eksistensi kami, Tou Minahasa.
Menyatakan penolakan terhadap segala upaya dan praktek politik, ekonomi dan hukum pemerintah daerah dan nasional yang menghancurkan kemanusiaan, keadilan, perdamaian dan kehidupan bersama yang setara.
3. Kekayaan seni-sastra-budaya bangsa kami adalah harta berharga yang harus kami jaga dan kembangkan terus menerus sebagai sumber pengetahuan, kearifan dan media ekspresi untuk menegaskan keminahasaan kami kepada dunia.
Dengan gagasan ini, kami menerima amanat kongres yang akan diwujudkan dengan segala cara dan perangkat kami masing-masing :
Melakukan elaborasi dan pengembangan seni-sastra-budaya Minahasa untuk menyampaikan pesan keminahasaan kepada masyarakat dunia.
Menjaga seni-sastra-budaya Minahasa dari usaha-usaha komersialisasi dan politisasi.
4. Perhimpunan kami masing-masing adalah media bagi kami melaksanakan kerja-kerja kebudayaan Minahasa. Kami akan selalu berinovasi dan berkreasi untuk menemukan cara dan pengetahuan keminahasaan.
Dengan gagasan ini, kami menerima amanat kongres yang akan diwujudkan dengan segala cara dan perangkat kami masing-masing.
Menjadikan semangat keminahasaan, seperti yang terumus dalam kongres ini sebagai dasar pergerakan perhimpunan kami masing-masing.
Kerja kebudayaan Minahasa mencakup usaha-usaha yang kreatif dan inovatif dalam mengusakan alternatif-alternatif dan bentuk-bentuk politik dan ekonomi yang relevan di Minahasa.
5. Rumusan-rumusan kongres ini adalah tekad dan komitmen kami yang akan diwujudkan dalam kesadaran diri kami masing-masing, menjadi semangat perhimpunan kami, disebarkan kepada semua Tou Minahasa, baik yang di tana’ maupun yang di perantauan, disampaikan kepada pemerintah sebagai himbauan dan penegasan dan dipublikasikan melalui media massa yang ada.
Kora-Kora, 3 November 2013
Yang menyatakan komitmen,
KAUM MUDA MINAHASA
Friday, April 19, 2013
JOHNY MAPALIEY
Sepenggal Kisah Sang Maestro
Dari Denting Tetesan Air Sampai Piagam MURI
"Meskipun jalan kita segra kanmelintasi tebing terjal hutan lebat gunung dan lembah, ayo jangan bimbang kitamaju sajalah bawa t'rang Injil kebenaran. Bangkitlah hai bintang plakon baktidi alam sosial grejawi, terbitlah hai pemencar Nur Sakti, trangi tahta batininsane."
Potongan lirik lagu berjudul"Bintang Plakon Bakti" ini adalah sebuah karya masterpieceyang diciptakan seorang Meastro musik asal Desa Rumoong Atas, tepat di kakigunung Tareran, Minahasa Selatan. Lagu ini bahkan memberi pengaruh yang luarbiasa teradap pendengarnya.
Komposer yang lahir di Magelang JawaTengah pada tanggal 20 Juli 1937 ini bernama Johny Mapaliey. Karya-karya SangMaestro, buah cinta dari Serfius Mapaliey dan Fien Lumangkun ini, begitudikenal di dunia musik dan paduan suara gerejawi.
Saat dijumpai di kediamannya, Mapalieymembeberkan proses kreatif yang dialaminya dalam mencipta lagu. Iamenyampaikan, kreasi musik pertama yang dibuatnya di sekitaran tahun 1950 saatbaru berusia belasan tahun. Mapaliey mengaku nada pertamanya diciptakan dariorang-orangan sawah yang terbuat dari bahan bambu. Peralatan yang seharusnyadigunakan untuk mengusir Rinceng (jenis burung yang biasa memakan padi), dirancang sedemikianrupa dengan menggunakan bantuan aliran air dan desiran angin.
“Tak disangka, hasil kreasi saya itu bisa mengasilkan bunyi yang harmonis,”beber pria yang sempat mengecap bangku pendidikan di Sekolah Rakyat (SR)Sidikkalang Sumatera Utara pada masa pendudukan Jepang ini.
Tidak hanya itu ia juga mengatakan,sempat menciptakan nada-nada yang dibuat dari kincir angin dari bahan bambujuga memanfaatkan aliran air dan tiupan angin. Kali ini hasil kreasinyamengasilkan bunyi konstan menyerupai bunyi tambur hingga mengasilkan iramadasar yang sama dengan musik Maengket.
“Tiupan angin membuat kincir itu berputar. Saya sengaja memasang lempenganbambu di atasnya, yang dipukul oleh baling-baling kincir. Dibantu dengan suaradesiran angin dan aliran air, nadanya menyerupai tambur Maengket,” ungkap priaberuban yang pernah menjadi mahasiswa Jurusan Kesenian pada Pendidikan GuruSekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) Manado pada tahun 1967.
Setelah itu Mapaliey mulai intensmencipta. Ciptaan lagu petamanya yaitu lagu berirama musik kolintangberjudul Mars Kolintang dan KarangMaengket di tahun 1954. Ia mengaku kedua lagu ini sering dianggap berbedadengan lagu dan syair Maengket pada umumnya. Menurutnya, hal ini bisa terjadikarena, diciptakan sebagaimana lagu aslinya.
“Dulu ada beberapa orang tua saya yang sering mendengarkan lagu asli Maengket.Dari situ saya belajar. Cuma tidak serta merta mengikuti persisnya, referensiitu saya jadikan dasar,” aku Opa John, sapaan akrabnya.
Hingga saat ini, lagu yang telahdiciptakan komposer yang satu ini sudah berjumlah lebih dari 250 judul.Mapaliey juga mengaku sempat mendapatkan inspirasi untuk menciptakan nada-nadaindah dari denting tetesan air hujan yang menetes dari atap saung di persawahankeluarganya.
"Denting tetesan air menghasilkanmelodi yang indah dalam ritme yang teratur. Hal ini memberi sayainspirasi," ungkapnya dengan sedikit senyuman.
Selain itu, Opa John juga mendapatkan inspirasi dari segala sesuatu yangditangkap oleh kedua telinganya. Di antaranya adalah suara burung Manguni (otusmanadensis), ‘Kuwow’, dan ‘Sokope’ di kisaran tahun 1950.
“Memang ada lagu yang diciptakan lewat sesuatu yang didengar. Bukan hanya air,tapi suara burung saja bisa digunakan. Suara mereka terdengar seperti variasikeharmonisan nada,” ujarnya sembari mengumandangkan potongan lirik laguberjudul ‘Berlayar’, yang diciptakannya dari suara burung Sokope.
Opa John mengatakan, tanpa itupun sebenarnya nada indah bisa dibuat. Yangterpenting menurutnya adalah mencipta dengan ketulusan hati. “Itu khasana dariinspirasi. Intinya segala sesuatu harus bersumber dari hati. Pasti hasilnyasempurna,” ungkapnya haru sembari menempelkan telapak tangan di dadanya.
Berangkat dari inspirasi yang tergolongunik, sejumlah lagu ciptaan komponis ini menarik perhatian tersendiri daripenikmat musik. Bukti nyatanya adalah dengan dibukukannya sejumlah karya lagurohani terbaik Mapaliey oleh Badan Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili diMinahasa (BPS GMIM).
Kumpulan lagu ini berjudul ‘Sahabat Kita’. Buku ini sendiri diterbitkan dalamdua edisi. Dimana edisi yang pertama berisi 60 lagu total ciptaanya. Sedangkanedisi yang kedua berjumlah 32 lagu, 29 diantaranya adalah karya lagu paduansuara ciptaan Mapaliey.
Selain itu, karya-karya Mapaliey jugasempat mendapatkan sebuah penghargaan besar. Pada tangal 9 Juni 2010 diSurabaya, Opa John memperoleh piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia(MURI) sebagai Tunanetra Pencipta Lagu Terbanyak.
Saat menerima pengargaan ini, ia merasa terharu. Opa John mengaku penghargaanini dipersembakan kepada Sang Pencipta dan keluarga yang selalu mendukungnya.
“Ini hasil dari karunia yang diberikan Tuhan,” akunya.
Yah, komponis ini adalah seorangTunanetra. Saat berusia 6 tahun 8 bulan 3 minggu, Mapaliey mengalami kebutaanyang diakibatkan oleh penyakit mata yang tidak dapat diobati. Hal ini tidakserta merta membuatnya menerima keadaan dan putus asa. Pada tahun 1972 Mapalieybelajar membaca dari huruf braille pada Program Pembangunan Prasarana KotaTerpadu (P3KT) di Manado.
Di tengah kesibukannya sebagai pencipta, pada taun 1973, Mapaliey meminangseorang gadis bernama Neltje Mamentu. Dengan keharmonisan dan saling pengertianyang dijalin, saat ini telah dikarunia 3 orang anak yang bernama Sutria, David danNelva.
Sebagian besar karyanya memang mengena dan mempengaruhi pendengar, seolahterbawa dalam alunan nada dan setiap lirik yang disatukan. Opa Johnmembeberkan, itu bisa terjadi karena lagu yang diciptakannya bersumber darijeritan hati seseorang yang lemah.
“Saya membuat lagu dari hati. Bekeng manangis kata dorang bilang,” ungkapMapaliey.
Saat ditanya motivasinya dalam membuatkarya, Opa John mengaku ada dorongan kuat dari dalam dirinya sehingga iatermotivasi untuk memberi. Baginya memotivasi merupakan sesuatu yang sangatpenting.
“Biarpun saya buta, tapi keinginan untuk berbakti dengan karya tidak bisadibendung. Terserah pandangan orang, yang penting saya termotivasi untukmemotivasi,” bebernya.
Diakhir perbincangan, Sang Maestro Tunanetra ini menyampaikan harapannya kepadaseluruh masyarakat luas. Ia bahkan menantang setiap orang untuk membuktikankaryanya dalam bidang apa saja yang digeluti. Menurutnya, terkadang sikapminder mengerangkeng imajinasi dan proses kreatif.
“Harapan saya, mengapa tidak kita semua berkarya. Buktikan kepada dunia kitabisa. Toh kita semua sama. Jangan takut dan malu karena di setiap kekuranganpasti tersisip berjuta kelebihan,” pungkasnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)