PERTEMUAN DENGAN LIPAN DAN KONIMPIS
Setelah peduduk membuka hutan dan mendirikan pemukiman yang baru, ketiga Tonaas yaitu Mamarimbing, Sage dan Palandi kembali melakukan penyelidikan disekitar pemukiman hingga kearah dekat bukit yang menjdi sasaran penyelidikan mereka. Mereka telah mengetahui bahwa di wilayah sekitar kampung tersebut telah bermukim dua orang kakak-beradik yang sering berlalu-lalang di hutan di sekitar pemukiman penduduk. Mereka berdua anak yatim piatu. Sang kakak bernama Lipan dan sang adik bernama Konimpis. Mereka tinggal di pondok peninggalan orang tua mereka di hutan sekitar pemukiman tak jauh dari Kuntung Tareran yang bernama Lopana.
Kedua kakak-beradik ini mempunyai postur tubuh dan perangai yang sangat berbeda satu sama lain seperti pebedaan antara langit dan bumi. Sang kakak Lipan konon mempunyai postur tubuh yang tinggi besar, berwajah kasar dan mempunyai perangai yang buruk. Pekerjaan sehari-hari adalah berburu binatang di hutan. Sedangkan sang adik Konimpis sangat berbeda jauh dengan sang kakak, badannya kecil berkulit halus serta sifatnya yang sopan, ramah dengan perangai yang lembut. Pekerjaannya sehari-hari adalah bertani dan menyadap saguer (air nira).
Pada saat ketiga tonaas itu menaiki kearah puncak bukit, mereka melihat ada seorang yang memanjat pohon aren (nira) dengan membawa bambu di punggungnya. Merekapun saling pandang dan sangat heran bahwa di tengah hutan di tempat yang terpencil ini ada seorang yang mengambil (kumeet) Saguer (air nira). Merekapun menuju kearah pohon itu dengan hati-hati agar tak mengejutkan orang tersebut.
“ Tabea,,,,” (selamat pagi), mendengar ada orang yang menyapanya, orang itu terkejut dan hampir saja jatuh dari pohon. Utung saja tangannya dapat meraih sebuah patahan batang daun nira yang tergantung di dekatnya. Mata orang itu memandang mencari tahu asal datangnya suara yang menyapa tadi. Ia melihat ketiga orang dewasa dengan tubuh yang gagah berdiri tak jauh dari pohon tempat ia menyadap.
“ siapa kalian, apa yang mau kalian lakukan disini !” kata orang itu dengan sangat hati-hati sambil menuruni pohon aren tersebut. Sebab selama hidupnya, ia sangat jarang bertemu dengan orang lain.
“ maafkan kami apabila kami membuat adik terkejut. Kami datang disini dengan maksud yang baik dan tidak akan menganggu keberadaan adik” Kata Tonaas Mamarimbing dengan lembut. Mendengar sambutan yang penuh persahabatan tersebut, orang itu mulai tenang dan tidak marasa terkejut lagi.
“ Bapak-bapak…saya bernama Konimpis…saya tinggal bersama kakak saya Lipan disekitar bukit ini. Maafkanlah saya apabila saya tidak menyambut bapak-bapak dengan baik “ kata Konimpis dengan ramah. Sambutan Konimpis yang sangat bersahabat itu, membuat ketiga tonas itu menjadi terkejut. Mereka tidak mengira bahwa yang mereka hadapi itu adalah Konimpis yang merupakan salah satu orang yang sangat terkenal dan ditakuti oleh para pemburu binatang di sekitar daerah pegunungan ini. Tetapi mendengar sambutan yang ramah dari Konimpis, ketiga tonaas itu menjadi sedikit lega karena karena dugaan mereka tentang kakak-beradik ini merupakan orang-orang yang sangat kasar dan jahat seperti yang mereka dengar selama ini ternyata sebaliknya.
“ Oh…jadi kamu yang bernama Konimpis ? kami sudah pernah mendengar nama kalian,. Tapi kami tidak menduga bahwa adik begitu baik dan ramah “. Kata Tonaas Mamarimbing.
“ saya bernama Mamarimbingyang biasa dipanggil Ma’abe, sedangkan yang disebelah saya ini adalah Palandi yang biasa dipanggil Pisek dan ini adalah Sage boleh juga dipanggil Seke’ “ Kata Tonaas Mamarimbing memperkenalkan diri mereka.
“ kami datang dari Tounkimbut yaitu sebelah sungai besar bagian timur daerah ini. Kedatangan kami ke daerah ini dengan maksud ingin menyelidiki keadaan sekitar bukit ini karena wilayah ini sudah menjadi incaran orang-orang asing dari dataran tinggi sebelah selatan dan barat.” Tonaas Mamarimbing menjelaskan maksud mereka. Mendengar hal itu konimpis hanya mengangguk-angguk kepalanya saja sambil berkata :
“ saya tak akan mencampuri urusan bapak-bapak. Tapi saya akan mengabari kedatangan bapak-bapak kepada kakak saya Lipan yang lagi berburu, agar urusan kalian tidak mendapat gangguan dia.” Kata Konimpiskedapa ketiga tonaas itu.
Selanjutnya ketiga tonaas itu lalu menjelaskan kepada Konimpis mamaksud mereka mendirikan pemukiman didaerah sekitar tempat tersebut. Sambil bercakap-cakap, mereka di suguhi Saguer (air nira) dari Konimpis. Konimpis juga menjelaskan mengenai daerah sekitar bukit tersebut kepada ketiga tonaas dengan ramah dan penuh persahabatan. Setelah hari menjelang senja, ketiga tonaas itu mohon diri untuk kembali kepemukiman sementara mereka, sedangkan Konimpis juga kembali dikediamannya dekat dengan bukit tersebut.
Beberapa hari kemudian para tonaas kembali mengadakan penyelidikan untuk menyusuribagian Barat Kuntung Tareran, tiba-tiba mereka mendengar bunyi lengkingan babi hutan disekitar hutan yang mereka tuju. Mereka lalu mencari tahu asal datangnya suara lengkingan binatang yang mereka dengar itu sambil berjalan menuju ke arah hutan yang lebat. Tak lama mereka memasuki hutan tersebut, tiba-tiba berdirilah dihadapan mereka seorang pria berbadan tinggi besar dengan mata yang tajam memadang mereka.
” hei…siapa kalian ! kalian ingin mencuri hasil buruanku ha…?? Kata orang itu dengan suara yang parau nsambil memegang sebatang lembing (tombak dari kayu) ke arah para tonaas. Ketiga tonaas menjadi sangat terkejut dan bersiap diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka melihat seorang muda yang badannya sangat tinggi dari ukuran manusia normal dengan wajah yang beringas sedang menghadang perjalan mereka.
” adik…” kata Tonaas Mamarimbing ”…bukankah adik yang benama Lipan ?” tanya Tonaas Mamarimbing dengan tenang dan penuh persahabatan. Mendengar namanya disebut dan dikenal oleh orang asing, ia menjadi heran.
” Dari mana kalian tahu namaku !” bentak Lipan keheranan.
” Oh……..jadi kalian orangnya yang diceritakan oleh adikku Konimpis itu?” ia lalu menurunkan lembingnya sambil mendekati ketiga tonaas itu. Melihat orang itu berjalan menuju kearah mereka, Palandi dan Sage bersiap untuk menghadang. Tetapi Tonaas Mamarimbing menenangkan mereka .
” Benar…..kami telah bertemu dengan adikmu Konimpis. Kami datang ke daerah ini tak bermaksud mengganggu akan kehidupan kalian ” kata Tonaas Mamarimbing.
” Ya…..adikku sudah menceritakan semuanya kepadaku. Tugas kalian tidak akan aku halangi, tapi kalian juga tak boleh mengganggu akan daerah perburuanku” kata Lipan sambil duduk pada sebuah batang pohon dimana seekor babi hutan hasil buruannya diletakkan. Tak lama kemudian mereka sudah terlibat pembicaraan yang serius. Lipan lalu menjelaskan seluk-beluk hutan disekitar Kuntung Tareran kepada tonaas sambil memanggang hasil buruannya. Melihat hasil buruan Lipan yang sedang dipanggang dalam perapian mengeluarkan bau yang enak, timbullah rasa lapar dari ketiga tonaas itu. Sebab sudah sepanjang hari mereka berjalan, mereka belum makan sesuatu apapun. Sehingga setelah daging itu matang, tanpa basa-basi lagi, Sage dan Palandi lansung menyantap daging panggang hasil buruan Lipan dengan lahapnya.
Melihat sikap Palandi dan Sage itu Tonaas Mamarimbing lalu meminta maaf atas sikap kedua rekannya itu. Tapi Lipan justru mengambil bagian paha daging itu dan diberikan kepada Tonaas Mamarimbing. Tonaas Mamarimbingpun menyambut pemberian Lipan itu dengan senang hati. Lipan hanya sesekali ikut menyantap bersama ketiga tonaas sambil meneguk Saguer dari sebuah bambu kecil yang selalu diikat pada pinggangnya. Selesai mereka menyantap daging buruan itu, Lipan lalu membungkus sisa daging panggang itu untuk diberikan kepada adiknya Konimpis bila ia pulang nanti.
Setelah hari menjelang senja, ketiga tonaas memohon diri untuk kembali ke pemukiman mereka.
” Lipan…. terima kasih atas sambutanmu yang baik ini.” Kata Tonaas Mamarimbing.
” Kami bertiga akan kembali ke perkampungan kami yang baru kami dirikan disebelah timur Kuntung Tareran ini. Bila ada waktu, kunjungilah kampung kami ini, kami pasti akan menyambutmu dengan senang hati.” Kata Tonaas Mamarimbing.
” Saya juga sangat senang dengan kedatangan kalian di daerah saya ini. Tetapi saya sangat canggung bertemu orang-orang. Tetapi bila ada waktu, saya akan mengunjungi kalian.” kata Lipan sambil berlalu dihadapan para tonaas itu.
” Dotu…. sebenarnya Lipan orangnya sangat baik, tetapi karena perangainya yang kasar itulah sehingga orang sangat takut bertemu dengannya.” kata Tonaas Palandi.
” Ya… Dia memang baik, tetapi karena hidupnya yang keras dihutan dan jarang bergaul dengan orang lain, membuat dia selalu curiga apabila bertemu dengan orang lain.” Kata Tonaas Mamarimbing sambil berjalan ke arah timur menaiki bukit.
” Memang kita bersyukur bertemu dengan dia tanpa kekerasan. Dan mudah-mudahan dia tak mengganggu pemukiman kita yang baru kita dirikan.” Kata Tonaas Sage sambil mengikuti Tonaas Mamarimbing dan Palandi menaiki bukit Tareran menuju pemukiman.
Mulai saat itu tugas para Tonaas menyelidiki daerah itu menjadi lebih aman tanpa gangguan dari Lipan dan Konimpis yang semula agak ditakuti oleh para Tonaas. Itulah sebabnya dari hasil pembicaraan dengan Lipan tersebut, penduduk yang mendirikan kampung Lansot sejak dahulu, tak pernah menggangu atau menggarap daerah sebelah barat pemukiman, yaitu daerah sekitar pohon Lowian hingga ke sisi sebelah barat Kuntung Tareran.
*************************************
PERTEMPURAN PERTAMA
DI PEGUNUNGAN TARERAN
Beberapa hari kemudian para tonaas dan pengikut-pengikutnya (warani/waraney) mulai berdatangan dari arah Tumompaso melalui jalur selatan kuala Tu’unan. Mereka lalu menghadap Tonaas Mamarimbing untuk melaporkan kedatangan mereka dengan kekuatan pasukan masing-masing. Pasukan yang datang tersebut antara lain terdiri dari pasukan pakasaan Tumumpaso (Tounpaso) yang dipimpin oleh Tonaas Lampus, Wa’ani dan Tambelaka, dari pakasaan Langkowan (Langowan) datanglah pasukan pimpinan Tonaas Mawole dan Manimporo, serta dari pasukan Tounkimbut (sekarang Kawangkoan / Sonder) pimpinan Teterusan Karengis, Piau dan Lalawi bersama seorang potuasan yang merupakan pasukan yang ditempatkan Tonaas Mamarimbing di Tumompaso sebelum ia melakukan perjalanan ke Kuntung Tareran. Begitupun pasukan yang berasal dari Tombulu yang datang dengan seorang pandai besi yang bernama Dotu Marentek, serta satu orang Walian Peposanen. Pasukan dari pakasaan Tombulu ini dibawah pimpinan Tonaas Tololiu, Kainde’ dan Dotu Tumalun dari Toubariri. Sedangkan dari di wilayah pakasaan Tolourdatang dengan pasukan pilihan yang dikirim oleh Dotu Makarano, serta tambahan pasukan dari beberapa desa yang tinggal di dekat aliran sungai seperti dari Kay Wasian (Tounbasian) yang dipimpin oleh Tonaas Kopero dan Teterusan Pandeirot.
Mereka kemudian bermukim di daerah sebelah timur Kuntung Tareran yang disebut Lowian. Untuk memenuhi keperluan makan para Tonaas dan pengikutnya, mereka berburu binatang di hutan sekitarnya dan menyadap pohon sagu [seho] yang pada waktu itu banyak tumbuh di daerah sekitar Kuntung Tareran. Dalam pertempuran Minahasa dan Mongondow, pohon bekas pengambilan sagu yang telah ditebang itu kelak bermanfaat untuk tempat berlindung para Tonaas dan pengikutnya.
Tak lama kemudian bergeraklah pasukan Malesung. Mereka menuju ke tempat penghadangan yang telah ditentukan sesuai dengan kelompok pasukan masing-masing. Menjelang tengah hari, para pasukan sudah berada di tempat penghadangan yang dimaksud dan secara diam-diam mulailah para Tonaas dan pasukannya menyebar ke seluruh bukit yang mengelilingi daerah itu sesuai dengan posisi dari masing-masing pasukan di bawah pimpinan para teterusan.
Sementara itu pasukan Bolaang-Mongondow sedang melewati sebuah bukit dan memasuki sebuah lembah yang datar. Tiba-tiba mereka terkejut dengan suara gemuruh yang datangnya dari segala penjuru hutan. Sang Bogani pimpinan pasukan Bolaang-Mongondow dengan sigap lalu memerintahkan pasukannya untuk waspada. Tapi hal itu sudah terlambat. Orang-orang gunung sudah dihadapan mata mereka.
Dari arah timur terdengar teriakan (bakuku) para Tonaas yang berada di bukit-bukit dengan suara yang nyaring sambil mengangkat santi mereka.
” Maka Petor !” artinya ’Demi Kebenaran’. ” I Yayat U Santi” yang berarti ” angkatlah senjata dan kalahkan musuh”. Mendengar teriakan itu, bergemuruhlah teriakan balasan seluruh pasukan (Waraney/Warany) di seluruh penjuru lembah dan bukit. Bersamaan dengan itu terdengar teriakan lainnya dari arah Timur kaki Kuntung Tareran. Mendengar teriakan itu maka menyerbulah para waraney/warany yang dipimpin oleh masing-masing kepala pasukannya dan langsung berhadapan dengan pasukan Mongondow.
Mendengar suara gemuruh dan bunyi kentongan bertalu-talu dari semua penjuru, pasukanMongondow menjadi kaget dan bingung. Sang Bogani langsung memerintahkan pasukannya untuk berhenti, dan bersiap untuk menyusun barikade. Tetapi serangan begitu mendadak dan tiba-tiba dari pasukan gabungan pimpinan Tonaas Kainde’ membuyarkan maksud sang Bogani tersebut. Teriakan yang sama pula terdengar dari mulut Tonaas Mawole, dan Palandi di sisi sebelah utara yag menandakan serbuan dimulai. Dari sisi sebelah barat terdengar teriakan dari Lampus dan dibalas dengan suara pekikan dari pasukannya menyerang dan menutup jalan masuk dari pasukan musuh.
Teriakan (bakuku) yang gagah dan nyaring itu dikenal dengan istilah ”Wangunen Engkeret” berarti ’Berteriaklah dengan gagah’. Istilah ini merupakan salah satu syarat bagi para Tonaas dalam memimpin pasukannya di medan pertempuran. Karena dengan teriakan yang gagah dan nyaring tanpa rasa takut, akan menimbulkan semangat dan keberanian dikalangan para warany dan waraney untuk bertempur dan memenangkan peperangan.
Mendengar gemuruh dari teriakan para Tonaas yang disambut oleh pekikan para warany dan waraney dari seluruh penjuru hutan, maka pasukan kerajaan Mongondow yang tidak menyangka bahwa mereka diserang didaerah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Pasukan Bolaang Mongondow tak menduga bahwa kedatangan mereka telah didahului oleh pasukan Malesung. Semula anggapan mereka bahwa daerah itu belum berpenghuni dan masih merupakan hutan perawan. Sang Bogani yaitu pemimpin pasukan Mongondow bersama para Tonawan pemimpin masyarakat Mongondow tak mempunyai jalan lain selain bertempur dan melayani serbuan mendadak dari orang-orang gunung. Pertempuranpun berkobar dengan sengitnya.
Pertempuran antara Tou Minahasa dibawah pimpinan paa Tonaas dan terusan-terusan dengan pasukan Mongondow yang dipimpin oleh para Bogani dan tonawan dikaki pegunungan Tareran berlangsung serunya. Para tonaas dan pasukannya secara bahu-membahu mengahadapi pasukan dari pasukan Kerajaan Bolaang-Mongondow tanpa perasaan gentar. Sebaliknya pasukan Mongondow terlihat sangat kewalahan menghadapi sepak terjang orang-orang gunung yang begitu bersemangat dan tak pandang bulu untuk menjatuhkan lawannya. Korban mulai berjatuhan dikedua belah pihak. Rintihan kesakitan dari beberapa orang yang terluka mulai terdengar diantara bunyi senjata yang saling beradu. Masing-masing pihak berusaha saling mengalakan, sehingga pertempuran akhirnya melebar hingga ke puncak-puncak bukit. Walaupun pasukan Malesung jumlahnya lebih kecil dari pasukan bolaang-mongondow,tetapi merek dapat mengimbangi bahkan mulai dapat menekan kekuatan musuh yang datang dengan kekuatan yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh penghadangan yang dilakukan oleh pasukan malesung berlangsung dengan tiba-tiba ditambah dengan pengenalan lokasi yang baik dan semangat yang tinggi para warany/waraney dibawah pimpinan para tonaa dan teterusan yang gagah berani.
Pertempuran antara pasukan Melesung dan pasukan kerajaan Bolaang-Momgondow itu berlangsung berhari-hari. Pertempuran pertama pertama terjadi di daerah di sebelah bukit Tareran yaitu suat hutan yang merupakan lembah yang dikelilingi oleh perbukitan yang kemudian dikenal dengan nama Pawuwukan. Selanjutnya pada hari-hari berikutnya pertempuran melebar hingga jauh ke pedalaman hutan dan bukit-bukit. Dan apabila matahari terbenam, kedua pasukan dari Malesung dan Mongondow ini menarik diri untuk istirahat dan menyusun kekuatan baru.
*************
Selang beberapa hari kemudian, pertempuran antara pasukan Malesung yang telah mengerahkan segenap kekuatannya dengan pasukan Bolaang Mongondow, kembali berkobar. Pertempuranpun berlangsung dengan seru. Pasukan kerajaan Bolaang Mongondow dengan sisa-sisa kekuatannya terus berusaha menahan gempuran orang-orang gunung yang datang dengan kekuatan penuh. Korbanpun mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi hingga hari menjelang siang, belum juga pasukan Malesung berhasil mengalahkan pasukan Bolaang Mongondow. Pada saat suasana pertempuran sedang berlangsung, tiba-tiba dari arah selatan muncullah pasukan bantuan dari Kay Wasian yang dipimpin oleh Karengis dan Piaw dari Tounkimbut bagian atas. Bersama mereka pula pasukan cadangan yang dipimpin oleh Sage.
Kedatangan pasukan ini menambah semangat dari pasukan Malesung yang sudah berhari-hari bertempur. Akhirnya pasukan Bolaang Mongondow mulai terdesak bahkan banyak anggota pasukan yang sudah terpisah dari pasukan induk yang masih bertempur dilembah. Tak berselang lama pasukan induk Bolaang Mongondow itu satu persatu bergigiran bersimbah darah bahkan sebagian besar dari mereka yang masih bertahan sudah sangat kelelahan dan semakin lemah pertahanannya. Kelelahan pasukan Bolaang Mongondow ini disebabkan bahwa dalam pertempuran selama berhari-hari, mereka belum mendapatkan bantuan yang diharapkan. Karena setiap kurir yang membawa pesan ke markasnya Pinamorongan, selalu dihadang oleh para pasukan Malesung yang berjaga-jaga disepanjang garis pertempuran sebelah barat.
Dengan kondisi pasukannya yang sudah lemah itu, sang Bogani pemimpin pasukan Mongondow, memerintahkan anak buahnya yang masih tersisa untuk bergerak mundur ke arah barat tempat mereka datang. Pasukan Bolaang Mongondow akhirnya mundur dan kembali ke markasnya di Pinamorongan dengan mengambil jalan disis sebelah utara perbukitan. Pertempuranpun berhenti. Pasukan Malesung kembali pulang dengan kemenangan sambil menaiki puncak Tareran menuju markasnya didaerah Lowian.
Pada pertempuran yang berlangsung beberapa hari itu,kedua belah pihak meninggalkan korban jiwa yang tidak sedikit. Masing-masing pasukan baik dari orang-orang gunung dan pasukan Bolaang Mongondow telah menunjukan kegigihan dan semangat yang pantang menyerah dalam medan pertempuran.
Konon bahwa senjata yang dipegang oleh sebagian para Tonaas dan Walian dalam pertempuran tersebut bukan berupa tombak atau pedang, melainkan juga memakai tiga batang lidi hitam yang berasal dari pohon Nira (akel) yang diikat menjadi satu, serta batang dan daun pohon yang disebut tawaang yang dipakai sebagai kelung (perisai).
Dalam setiap tebasan lidi yang dilakukan oleh para Tonaas, maka kepala pasukan Bolaang Mongondow yang menghadang akan putus di payau oleh para Tonaas. Itulah sebabnya dalam pertempuran tersebut banyak sekali kepala pasukan Bolaang Mongondow yang tertebas dan putus dipayau dan terpisah dari badannya.
********************************
PERSELISIHAN LIPAN DAN KONIMPIS
Disekitar pemukiman baru Tountemboan di pegunungan Tareran yang dinamakan ro’ong Lansot, hiduplah dua orang kakak beradik bernama Lipan dan Konimpis. Pada awalnya antara Lipan dan Konimpis hidup rukun dan damai dan saling mendukung seperti biasanya kakak beradik. Tetapi hal tersebut berubah setelah Lipan melihat adiknya sangat disenangi dan disegani oleh para penduduk yang baru mendirikan pemukiman di daerah mereka. Penduduk setempat sangat dekat Konimpis karena sifatnya yang suka menolong dan senang bergaul dengan penduduk. Sedangkan Lipan justru sebaliknya, ia selalu menjauhi para penduduk. Sifat yang pemarah dan ketus, membuat penduduk selalu menghindar apabila bertemu dengannya. Akibat perbedaan perlakuan penduduk desa tersebut, lama-kelamaan timbul rasa benci, cemburu dan iri hati Lipan terhadap Konimpis adiknya.
Perselisihan antar keduanya mulai terjadi berawal pada waktu Konimpis yang biasanya menyadap air nira atau disebut saguer tidak meninggalkan sedikitpun saguer untuk sang kakak. Biasa Lipan sekembalinya dari berburu ia langsung meneguk saguer yang disediakan oleh adiknya Konimpis sebagai pelepas dahaga. Tapi saat itu tanpa sebab yang pasti, Konimpis menghabiskan seluruh saguer yang disadapnya itu. Sehingga kakaknya Lipan tak kebagian. Inilah yang menyulut amarah Lipan kepada sang adik. Pertengkaran keduanyapun tak terelakan lagi.
Pertengkaran mereka memuncak ketika pada suatu hari Konimpis ingin memasak makanan hasil pertanian di dalam sebuah bambu, ia kesulitan untuk meletakan bambu tersebut bila hanya ditopang oleh kayu.Untuk itu ia membutuhkan sebuah batu. Kebetulan tak jauh dari tempatnya memasak, dilihatnya Lipan lagi berbaring di bawah sebuah pohon. Ia bermaksud meminta bantuan kakaknya.
” Kak…ambillah sebuah batu di sungai untuk tempat memasak saya. Sebab kayu penopang untuk memasak makanan dalam tambelang ( bambu ) tidak kuat dan selalu patah dan roboh ” kata Konimpis sambil memohon kepada kakaknya Lipan. Mendengar permohonan adiknya itu, Lipan terbangun. Ia kesal karena tidurnya terganggu oleh suara adiknya. Kemudian ia berjalan menuju sungai tak jauh dari tempat mereka tanpa sepata katapun.
Tak seberapa lama kemudian Lipan datang dan meletakkan batu yang sangat besar dihadapan Konimpis. Konimpis menjadi kaget dengan perbuatan kakaknya. Karena batu yang sedang yang hanya untuk menopang bambu untuk memasak makanan.
” bagaimana kakak ini…. sayakan suruh untuk mengambil batu yang sedang saja sebagai penopang bambu tempat memasak ini… tetapi kakak membawa batu yang besar. Untuk apa batu itu !” kaya Konimpis dengan kesal. Melihat adiknya sedang kesal, lalu Lipan mendekati Konimpis dengan tingkah yang acuh tak acuh dn dibuat-buat.
” masih untung saya mau menolong mengambilkan batu untukmu. Kalau tidak mau pergi…. ambil batu sendiri yang kau ingini” sahut Lipan tak kalah garangnya. Hal ini dilakukan Lipan hanya untuk memamerkan kekuatan dan kesaktiannya dihadapan adiknya Konimpis. Itulah asal mula batu yang sekarang terletak disebelah kanan jalan menuju kebun Lopana dekat sungai Memea’ yang oleh penduduk setempat disebut Batu Lipan.
Perbuatan Lipan membuat Konimpis sakit hati dan ingin membalas perbuatan kakanya yang memamerkan kekuatan dan kesaktiannya. Kesempatan tersebut tiba manakala pada waktu Lipan ingin memasak hewan hasil buruannya disebelah utara Kuntung Tareran, ia menyuruh adiknya Konimpis untuk membantunya menyiapkan tempat memanggang.
”adik bantulah kakak mencari batu untuk memanggang hasil buruan kakak ini ”. Ujar Lipan tanpa memandang kepada adiknya karena ia lagi sibuk menguliti hasil buruannya. Konimpispun tak menjawab sepatah katapun. Ia lalu menuju kesebuah kali yang ada disekitar lembah itu. Tak lama kemudian Konimpis datang dengan membawa batu yang sangat besar dihadapan Lipan. Lipan menjadi kaget manakala Konimpis menjatuhkan batu yang dibawahnya dihadapan Lipan. Walupun Konimpis tubuhnya kecil dari lipan, ia juga mempunyai kesaktian yang tidak kalah hebatnya dengan sang kakak. Melihat perbuatan adiknya yang memamerkan kesaktiannya tersebut, Lipan menjadi marah.
” Adik…. kenapa kamu membawa batu yang besar itu !…. aku tak membutuhkan batu itu, aku membutuhkan batu yang sedang saja untuk menipang binatang buruan ini untuk di panggang ”. Kata Lipan dengan garang. Mendengar bentakan kakaknya itu, tiba-tiba Konimpis memukul batu itu dengan keras sehingga batu tersebut berbekas telapak tangannya.
” Mengapa kakak harus memarahi saya ? bukankah kakak juga pernah berbuat sama dengan saya pada waktu yang lalu? ” bentak Konimpis kepada kakaknya.
Mendengar bentakan adiknya tersebut, Lipan menjadi sangat marah dan berdiri mendekati adiknya.
” Kamu ini sudah berani membentak kakakmu….. ” seharusnya kamu harus menuruti segala apa yang kuperintahkan kepadamu…. ” kata Lipan dengan nyaringnya.
” Ah…. masa bodoh, kakak sendiri yang semula membuat gara-gara. Kakak merasa tersaingi karena aku disenangi penduduk dipemukiman yang baru itu, bukankah begitu ?” ujar Konimpis dihadapan kakaknya. Selanjutnya antara kakak beradik itu terus saja bertengkar dan puncaknya kedua kakak beradik tersebut terlibat perkelahian untuk memamerkan keaktian masing-masing.
Bekas tepukan tangan Konimpis di batu itu, hingga sekarang masih terdapat di daerah perkebunan wilayah desa Wiau Lapi yang oleh penduduk setempat dinamakan Batu Konimpis. Dan kebun terdapatnya batu Konimpis itu dinamakan Kobong Konimpis ( Kebun Konimpis ).
Nafsu untuk saling mengalahkan telah menguasai hati mereka. Perkelahian mereka berlangsung hampir dua hari du malam disepanjang bukit yang mereka sering berlalu lalang yaitu dari bukit yang sekarang disebut Kebun Lopana hingga ke puncak Kuntung Tareran, untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat dan sakti. Setelah perkelahian berlangsung sekian lama tanpa saling mengalahkan, akhirnya Konimpis memutuskan untuk menghindar sambil berlari ke arah bukit Lopana di sebelah selatan Kuntung Tareran. Tetapi kakaknya Lipan terus saja mengejar konimpis dengan pukulan-pukulan.
” Kamu mau lari kemana ah…. ?” bentak Lipan sambil melancarkan pukulan dan tendangan ke arah Konimpis.
” Kakak…. Saya sudah capek, berhentilah mengejar saya” kata Konimpis memohon kepada kakaknya.
” boleh saja asal kau harus tunduksegala kemauanku” kata Lipan yang terus mengejar Konimpis dengan pukulan.
Selanjutnya perkelahian antara kedua kakak-beradik tersebut yang mengeluarkan kesaktian masing-masing, membuat mereka sangat kelelahan. Inilah kesempatan Konimpis melepaskan diri dari hadapan Lipan dan berlari ke arah selatan. Dia tiba di sungai Memea’ sambil meminum air sungai yang jernih dan sejuk untuk melepas dahaga. Karena begitu lelahnya Konimpis akibat perkelahiannya dengan sang kakak yang berlangsung berhari-hari, badannya terasa sangat lelah. Ia lalu membaringkan diri di sebuah batu yang dahulu pernah diangkat boleh kakaknya untuk tempat memasak yang ada didekat sungai tersebut. Tiba-tiba Konimpis terkejut melihat karena hantaman kaki kakaknya yang keras menimpa batu tempat ia berbaring. Akibat hantaman kaki Lipan itu, batu itu berbekas telapak kaki Lipan yang besar. Bekas telapak kaki Lipan di batu itu kemudian dikenal dengan nama ”Kopat Lipan”.
Konimpis menjadi sangat marah karena kakaknya tetap saja ingin membunuhnya. Konimpis lalu berdiri di atas batu itu sambil berteriak kepada kakaknya yang sedang menghampiri dirinya.
” Kakak…. mengapa kakak terus mengejar aku, kelihatannya kakak ingin membunuh aku….adik kakak berdiri ” kata Konimpis dengan wajah sedih.
” Ya aku akan membunuhmu sebab kamu tak mau lagi menuruti kata-kataku dan berani melawan kakakmu ” ujar Lipan dengan suara yang penuh kemarahan.
” baiklah apabila kakak memang tetap ingin membunuhku, dan kakak tak lagi menganggap aku sebagai adik…..maka batu bekas telapak kaki kakak ini serta bekas telapak tanganku didaerah sebelah utara bukit ini adalah saksi atas permusuhan diantara kita ” Ujar Konimpis.
” Ya….kedua batu itu akan menjadi saksi bahwa kita tidak lagi bersaudara ” kata Lipan tak kalah garangnya.
Dan sejak saat itu kedua batu itu menjadi pesan kepada keturunan mereka bahwa hubungan persaudaraan mereka sebagai kakak beradik sudah putus. Untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu, mereka menaiki bukit Tareran yang merupakan puncak yang paling tinggi diantara bukit-bukit di daerah itu dan memilih tempat yang dianggap pusat diantara batu Lipan yang ada di selatan dan batu Konompis yang ada di bagian utara. Setiba diatas puncak bukit tersebut, masing-masing mengangkat sumpah (tumiwa) bahwa ”mereka bukan saudara lagi dan siap angkat perang”. Perselisihan antara Lipan dan adiknya Konimpis itu terjadi disaat para Tonaas sedang sibuk mengatur kedatangan pasukan Malesung untuk mengadakan penyerangan dan penghadangan terhadap ekspansi suku Mongondow yang telah mendirikan markasnya di wilayah kaki gunung Tareran yaitu di Pinamorongan.
Selanjutnya setelah mengangkat sumpah untuk saling bermusuhan antara Lipan dan Konimpis, maka Konimpis kemudian pergi ke arah barat di wilayah kekuasaan pasukan Bolaang Mongondow. Sedangkan Lipan setelah kejadian tersebut tetap melakukan perkerjaan sebagai pemburu binatang dan kemudian oleh penduduk tersebar kabar bahwa ia menjadi seorang kanibal pemakan manusia.
Bukit tempat Lipan dan Konimpis membuat perjanjian dan pesan tersebut kemudian oleh penduduk dikenal dengan istilah ’Taar Era’ berasal dari kata Taar = Pesan/Perintah dan Era = Mereka yang berarti ”Pesan Mereka”. Sehingga ”Taar Era” merupakan bagian dari asal usul nama bukit tersebut yaitu Kuntung Tareran (Kuntung = bukit/gunung). Kemudian setelah berdirinya beberapa desa yang berada disekitar Kuntung Tareran, maka daerah tempat desa-desa itu berdiri disebut dengan nama Wilayah Tareran yang kemudian menjadi sebuah kecamatan yang bernama kecamatan Tareran.
***************************************
LIPAN DAN KONIMPIS DALAM PERTEMPURAN
Setelah pertempuran yang menimbulkan banyak korban jiwa yang dialami oleh kedua belah pihak, pimpinan pasukan Kerajaan Bolaang Mongondow itu yaitu Bogani Bantong terlihat sangat sedih. Di dalam markasnya di Pinamorongan, Bogani Bantong yang baru tiba dengan sisa pasukannya yang berhasil meloloskan diri dari orang-orang gunung, kemudian memanggil beberapa tonawan serta beberapa prajurit kerajaan yang tidak ikut bertempur untuk berkumpul.
” Saudara-saudara………… saat ini kita mengalami pukulan yang berat dalam pertempuran di kaki pegunungan ini.” kata Bogani Bantong dengan wajah yang diliputi kesedihan.
” Tanpa kita ketahui, daerah itu telah dihuni oleh orang-orang gunung. Dan mereka sudah mengetahui akan maksud kedatangna kita untuk menduduki daerah mereka itu.” lanjut sang Bogani
” Saat ini kita harus menyusun kekuatan kembali apabila kita tetap ingin menduduki daerah pegunungan itu. Tetapi kekuatan kita sudah jauh berkurang.” lanjut Bogani Bantong sambil memandang para tonawan dan prajurit kerajaan.
” Apabila kita memaksakan diri untuk bertempur, kita akan mengalami kelelahan. Untuk itu kita harus secepatnya memanggil bala bantuan dari pasukan kerajaan yang berada di daerah Rano i Apo – Buyungon.” kata Bogani Bantong meyakinkan para tonawan yang hadir di tempat itu.
” Benar…. kekuatan orang-orang gunung tak seberapa bila berhadapan dengan pasukan kita yang jauh lebih besar dan kuat.” kata seorang tonawan lainnya yang tidak turut bertempur bersama dengan Bogani Bantong.
” Saudara-saudara, kita tidak boleh meremehkan kekuatan orang-orang gunung itu. Diluar perkiraan kita ternyata mereka mempunyai kekuatan dan keberanian yang jauh lebih tinggi dari pasukan kita. Mereka juga dipimpin oleh orang-orang yang sakti serta berpengalaman dalam pertempuran.” kata Bogani Bantong sambil merebahkan diri di sebuah balai-balai yang berada di tempat itu.
” Ya benar. Kekalahan kita alami dalam pertempuran ini juga diakibatkan karena kita lengah dan berpikir bahwa daerah itu tidak ada penghuni.” kata seorang tonawan yang ikut bertempur bersama Bogani Bantong.
” Bogani Bantong…….. kita sudah terlanjur berada di tempat ini untuk menjalankan perintah raja. Ada baiknya kita secepatnya meminta pengiriman pasukan kerajaan yang sedang berada di pesisir pantai Buyungon untuk menjalankan strategi kita merebut daerah pegunungan ini.” kata seorang tonawan.
Mendengar usulan itu, Bogani Bantong terdiam. Pikirannya melayang pada peristiwa pertempuran yang baru saja dialaminya, khususnya percakapannya dengan Tonaas Ma’abe.
” Baiklah…. tetapi sebelumnya, kita harus melaporkan kejadian ini kepada raja bahwa daerah yang menjadi tujuan kita telah diduduki terlebih dahulu oleh orang-orang gunung. Dan tentang pesan dari pemimpin pasukan Malesung bahwa mereka tidak menghendaki kita menduduki tanah yang telah mereka diami di pegunungan ini.” kata Bogani Bantong. Ia lalu memanggil salah seorang prajurit yang tugasnya sebagai kurir pembawa pesan untuk disampaikan kepada raja dan pasukan yang berada di pesisir pantai Buyungon.
” Pergilah kamu ke teluk dan sampaikan pesan ini kepada raja.” kata Bogani Bantong sambil menyerahkan secarik surat dari kulit binatang, kemudian berlalu dari hadapan para tonawan dan prajuritnya.
Beberapa hari kemudian sang prajurit pengantar pesan kembali ke markasnya di Pinamorongan dan menghadap Bogani Bantong.
” Tuan…. Raja memerintahkan tuan untuk tetap merebut wilayah dataran tinggi pegunungan ini. Beliau sudah memerintahkan Bogani Ojotang untuk membantu tuan dan mengirim pasukan dengan persenjataan yang lengkap. Tuan juga mendapat bantuan dari seorang yang bernama Konimpis sahabat raja yang sangat sakti yang sangat mengetahui dengan jelas situasi dan kondisi daerah pegunungan bagian timur itu karena ia berasal dari daerah tersebut. Ia akan menjadi pemandu pasukan kita menuju derah pegunungan itu.” kata sang pembawa pesan sambil menyerahkan sebuah gulungan kertas yang berisi titah raja sambil berlutut dihadapan Bogani Bantong. Setelah menerima gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang itu, Bogani Bantong lalu membacanya. Terlihat jelas diraut mukanya bahwa ia merasa sedih akan tugas yang baru saja diterimanya. Sebab ia tak menghendaki lagi pertempuran yang hanya menimbulkan penderitaan dan pertumpahan darah apalagi Raja mengutus adiknya Ojotang untuk membantu dirinya. Tetapi perintah raja adalah mutlak dan harus dilaksanakan.
Pada keesokan harinya pasukan bantuan yang dikirim oleh Raja di bawah pimpinan Ojotang tiba di markas Bogani Bantong. Ia datang bersama Konimpis. Mereka lalu memasuki markas dan disambut oleh Bogani Bantong. Bogani Bantong sangat gembira berjumpa dengan adiknya yang sudah lama berpisah karena tugas. Dalam kegembiraannya itu didalam hatinya diliputi rasa kekuatiran. Ia lalu mengajak adiknya menuju tenda tempat tinggalnya.
” Kakakku… kelihatannya hati kakak merasa sedih. Bukankah kakak harus bergembira bahwa aku yang diutus untuk membantu kakak dalam menghadapi pertempuran ini?” tanya Ojotang dengan muka yang diliputi kebingungan. Mendengar pertanyaan adiknya itu, Bogani bantong lalu mempersilahkan adiknya duduk dahulu sambil mengambil sebuah cangkir lalu diisi dengan air dari teko yang tergantung disamping tempat tidurnya. Ia lalu menyerahkan cangkir itu kepada adiknya lalu menjelaskan apa yang membuatnya sedih dalam menjalankan perintah Raja.
Setelah mendengar penuturan kakaknya, Ojotang lalu membesarkan hati sang kakak yang sedang diliputi dengan perasaan bimbang itu.
” Kakakku Bantong….. kita laksanakan saja titah raja kita, itulah tugas kita. Untuk selanjutnya apapun yang terjadi….. kita sudah melaksanakan perintah raja itu dengan sebaik-baiknya apapun resikonya.” kata Ojotang menyakinkan kakaknya. Mendengar perkataan adiknya Ojotang itu Bogani Bantong terdiam sejenak. Memang benar apa yang dikatakan adiknya bahwa mereka hanya menjalankan perintah raja walaupun hal itu bertentangan dengan kehendak mereka.
” Adikku… bukankah kamu datang bersama dengan seseorang tadi?” tanya Bogani Bantong mengalihkan pembicaraan mereka.
” Oh iya kak….. yang bersama saya tadi adalah Konimpis. Ia tinggal dan besar di pegunungan yang menjadi tujuan kita itu.” kata Ojotang sambil memanggil Konimpis yang masih berada diluar tenda. Tak lama kemudian masuklah Konimpis kedalan tenda sambil memberikan salam dan menghampiri Bogani Bantong. Bogani Bantong melihat seorang pemuda dengan wajah yang halus serta memiliki mata yang tajam sebagai tanda bahwa pemuda ini bukanlah pemuda biasa. Bogani Bantong lalu berdiri dan menyambut Konimpis yang ia tahu merupakan sahabat rajanya. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah terlibat pembicaraan sambil makan dan minum bersama. Percakapan mereka tak jauh dari pengalaman Bogani Bantong dalam pertempuran yang baru saja dialaminya.
” Konimpis…. apakah kamu mengenal Dotu Ma’abe” tanya Bogani Bantong sambil tangannya mengambil sebuah Lansat yang ada di depannya. Mendengar pertanyaan dari Bogani Bantong itu, Konimpis kelihatan terkejut dan bertanya-tanya, dari mana Bogani Bantong mengenal Dotu Ma’abe?.
” Bogani Bantong….. saya memang mengenal Dotu Ma’abe. Dia bersama-sama dengan kedua kawannya Pisek dan Seke yang mendirikan pemukiman di pegunungan tempat saya dan kakak saya tinggal.” kata Konimpis dengan tenang menjawab pertanyaan Bogani Bantong.
” Jadi kamu mengenal dia? Coba ceritakan apa yang kamu ketahui tentang dia.” kata Bogani Bantong ingin mengetahui lebih jauh mengenai Dotu Ma’abe. Mendengar permintaan Bogani Bantong itu, Konimpis menjadi sangat hati-hati menjawabnya. Sebab dalam hatinya ia juga tak mau membeberkan semua yang ia tahu tentang Dotu Ma’abe. Dotu Ma’abe juga adalah seorang Dotu yang sangat ia kagumi dan hormati.
” Saya tak mengetahui persis mengenai pribadi Dotu Ma’abe. Sepanjang yang saya tahu bahwa dia adalah seorang Tonaas yang sangat sakti dan mengetahui serta dapat meramalkan apa yang akan terjadi kemudian.” kata Konimpis yang kemudian menceritakan perihal pertemuannya dengan Tonaas Mamarimbing pada waktu yang lalu.
Bogani Bantong dengan serius mendengar penuturan Konimpis. Dalam pikirannya ia mulai mengkagumi akan kepribadian Tonaas Mamarimbing. Disamping itu ia harus lebih waspada terhadap orang-orang gunung di bawah kepemimpinan Tonaas Mamarimbing yang telah terbukti pada pertempuran pertama pasukannya dapat dipukul mundur dan menderita kekalahan yang besar. Karena begitu asyiknya mereka bercakap-cakap, tak disangka hari telah larut malam.
” Baiklah… adikku Ojotang dan kamu Konimpis, beristirahatlah. Besok kita harus mengumpulkan tenaga dan membahas lagi rencana kita untuk merebut puncak bukit itu.” kata Bogani Bantong sambil mengantar Ojotang dan Konimpis keluar dari tendanya.
Pada keesokan harinya, Bogani Bantong Ojotang lalu menyusun rencana dan mempersiapkan pasukannya dengan lebih matang. Mereka lalu mengadakan latihan serta menyusun strategi penyerangan menghadapi orang-orang gunung untuk merebut dataran tinggi Pegunungan Tareran dari tangan orang-orang gunung. Apalagi dibantu oleh Konimpis yang mengetahui dengan jelas situasi daerah yang akan mereka duduki. Sementara persiapan pasukan dilakukan, Bogani Bantong lalu mengirimkan beberapa prjurit pengintai menuju ke daerah sekitar pertempuran pertama untuk memata-matai kegiatan orang-orang gunung. Dari hasil pengintaian itu diketahui bahwa pasukan orang-orang gunung hanya terpusat disekitar wilayah sebelah barat puncak gunung Tareran. Tak terlihat adanya tanda-tanda datangnya bantuan dari luar. Jadi kekuatan mereka tak lebih dari kekuatan yang ada pada pertempuran pertama.
Mengetahui akan keadaan dan kondisi dari pasukan orang-orang gunung itu maka disusunlah strategi untuk menyerang terlebih dahulu kedudukan orang-orang gunung dari dua arah yaitu dari arah barat menyusuri jalan yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pasukan Mongondow pimpinan Bogani Bantong, dan dari arah utara tempat dimana Konimpos sering berlalu-lalang. Usaha penyerangan dari dua arah ini akan dilakukan serempak sebelum pasukan Malesung mendapat bantuan dari Tumompaso. Pasukan pertama yang akan menyerang dari arah barat akan dipimpin langsung oleh Bogani Bantong, sedangkan penyerangan dari arah utara akan dipimpin oleh Ojotang yang dibantu oleh Konimpis sebagai petunjuk jalan. Dengan perhitungan yang cermat akan kekuatan pasukan mereka yang ada sekarang, mereka sangat yakin akan dapat memenangkan pertempuran ini walapun dengan menghadapi perlawanan sengit dari orang-orang gunung yang terkenal pemberani dan tak pernah gentar itu.
*******
Pada pertempuran pertama antara pasukan Malesung dengan pasukan dari kerajaan Mongondow, Lipan tak ikut serta dengan pasukan Minahasa. Setelah pertengkarannya dengan adiknya Konimpis, ia menjadi pemdiam dan mudah marah, sehingga tidak ada seorangpun yang ingin mengusiknya. Ia sering bepergian jauh untuk mengejar dan mencari adiknya yang pergi ke arah barat. Mengetahui adiknya berada bersama-sama dengan pasukan Mongondow yang akan menyerbu Pegunungan Tareran, ia lalu tergerak hati untuk membantu pasukan Minahasa agar dapat bertemu dengan Konimpis. Ia tak menyangka bahwa sang adik telah menjadi kaki tangan Raja Mongondow untuk memerangi saudara-saudara sendiri.
Lipan lalu memutuskan untuk mencegat adiknya dan bergegas ke arah puncak bukit Tareran dan bergabung dengan para warany dan waraney Minahasa.
Lipan lalu mengambil sisi bagian utara kuntung Tareran dan bersembunyi dibawah salah satu pohon sagu yang tengahnya sudah kosong karena isinya telah diambil. Ia menunggu kedatangan Konimpis. Ia memilih pohon seho dijalan yang dahulu sering digunakan oleh Konimpis apabila menaiki puncak kuntung Tareran dari arah utara. Ia mendapat kabar bahwa Konimpos akan datang duluan untuk membuka jalan bagi pasukan Mongondow Menyerbu, karena Konimpis mengetahui seluk beluk lokasi sekitar kuntung Tareran. Lipan yakin bahwa Konimpis akan menggunakan jalan ini apabila ia datang kelak.
Seperti perkiraan Lipan, Konimpis lalu mengambil jalan yang biasa dilewatinya yaitu daerah sebelah utara kuntung Tareran yang sangat dikenalinya. Lipanpun menunggu kedatanngan adiknya itu dengan bersembunyi di salah satu pohon seho (sagu) yang roboh yang banyak terdapat disepanjang jalan yang akan dilalui oleh Konimpis.
Pada saat Konimpis tiba dan menginjakkan kakinya di pohon seho yang roboh tempat persembunyian Lipan, sehingga Lipan merasakan bahwa pohon seho tempat dirinya bersembunyi itu tiba-tiba bergoyang. Ia mengetahui bahwa Konimpislah yang sedang menginjakkan kakinya di atas pohon seho, tiba-tiba Lipan mengayunkan kearnya yaitu alat pembelah kayu dari nibong yang dipegangnya ke kaki Konimpis. Konimpis menjadi sangat terkejut dan tak sempat menghindar dari serangan yang datangnya tiba-tiba itu. Ia merasa kakinya sangat sakit dan mati rasa sehingga keseimbangan tubuhnya goyah. Ia pun roboh ke tanah didekat persembunyian Lipan. Melihat adiknya roboh kesakitan, Lipan lalu menyerang Konimpis. Konimpis lalu berusaha mempertahankan dirinya walaupun dengan kaki yang patah. Melihat bahwa yang menyerang dirinya adalah kakaknya sendiri, ia menjadi terkejut dan berusaha untuk menghindar. Tetapi Konimpis tak dapat berbuat banyak karena serangan Lipan datangnya bertubi-tubi. Ia tak mampu lagi mempertahankan dirinya dari terjangan Lipan yang telah banyak mengenai tubuhnya. Tak lama kemudian Konimpis roboh dengan tubuh yang bersimbah darah. Lipan lalu menghentikan serangannya. Ia merasa tidak tega untuk membunuh saudara kandungnya sendiri.
” Konimpis……. aku tak kan membunuhmu, tetapi engkau harus meninggalkan daerah ini untuk selamanya dan jangan kembali lagi”. Kata Lipan yang berniat untuk meninggalkan Konimpis begitu saja. Melihat Lipan akan meninggalkan dirinya, Konimpis memohon kepada kakaknya untuk menolongnya.
” Lipan…….. aku tak bisa……… lagi berdiri, bagaimana……… aku meninggalkan……… daerah ini ?” kata Konimpis dengan suara terputus-putus menahan rasa sakit.
” Bawalah aku……… menjauhi tempat ini ”. Kata Konimpis memohon kepada kakaknya. Lipan lalu menurut apa yang diminta oleh adiknya. Ia mendekati Konimpis lalu memopong adiknya dengan punggungnya sambil menuruni bukit dan menjauh dari pertempuran yang sedang berlangsung antara orang Minahasa dan Mongondow.
” Adikku…….. mengapa engkau membantu orang-orang Mongondow untuk merebut tanah kita ini ?” tanya Lipan kepada Konimpis yang sedang digendongnya itu. Mendengar pertanyaan kakaknya itu Konimpis hanya diam sambil menahan sakit. Melihat adiknya tidak menjawab pertanyaannya, timbul rasa jengkel didalam hatinya.
” Konimpis jawablah…….. kenapa hal itu kamu lakukan?”. kata Lipan dengan menahan perasaan jengkelnya itu. Konimpis tetap membisu. Kejengkelan Lipan memuncak. Tiba-tiba tubuh Konimpis dihempaskan ke tanah. Tubuh Konimpis terguling dan terlempar masuk ke dalam jurang. Lipan tak menyangka bahwa akibat hempasan itu tubuh Konimpis terlempar ke dasar jurang sehingga menyebabkan debu-debu berterbangan. Melihat hal tersebut, perasaan Lipan menjadi cemas jangan-jangan adiknya Konimpis telah mati didasar jurang. Ia lalu berusaha melihat ke dasar jurang, tetapi penglihatannya terhalang oleh debu-debu yang berterbangan. Tapi tak beberapa lama kemudian Lipan mendengar suara rintihan adiknya yang memanggil dirinya dari dasar jurang.
” Lipan…… tolong aku…….. aku tak kuat lagi…… ” mendengar adiknya memanggil-manggil dirinya dari dasar jurang, Lipan lalu berlari menuruni bukit untuk menjemput adiknya keluar dari jurang tersebut. Pada saat ia tiba didasar jurang itu, ia melihat tubuh adiknya tersangkut pada sebuah akar pohon diatas sebuah sungai yang mengalir dengan derasnya diantara batu-batu yang besar. Lipan lalu berusaha untuk menolong adiknya tersebut, tetapi pada saat tangannya akan menarik adiknya keluar, tiba-tiba akar pohon tempat tergantungnya Konimpis patah. Tubuh Konimpis meluncur kebawah dan menimpah dengan keras diatas sebuah batu yang besar. Setelah tubuh Konimpis menimpa batu itu, darahnya mengalir membasahi seluruh sungai sehingga sungai tersebut merah oleh darah. Inilah cikal bakal nama dari sungai Lelema yang asal kata dari ”Lema” yang artinya warna merah yang keluar bila mengunyah buah pinang.
Melihat tubuh adiknya jatuh diatas bebatuan sungai itu dan banyaknya darah yang keluar dari tubuh adiknya, Lipan menjadi sangat terkejut. Ia lalu menuruni bukit dan masuk kedalam sungai. Ternyata adiknya Konimpis masih hidup. Lipan lalu mengangkat tubuh adiknya keluar dari dasar sungai itu. Melihat keadaan adiknya sudah sangat lemah dan tak akan bertahan lama, timbullah penyesalan dalam hati Lipan. Ia lalu membawa adiknya ke arah Kuntung Tareran tempat mereka mengangkat sumpah untuk saling bermusuhan dan tidak bersaudara lagi.
Setibanya diatas puncak Kuntung Tareran Konimpis akhirnya berkata kepada kakaknya Lipan.
” Kakakku Lipan…….. aku tak kuat lagi untuk hidup” kata konimpis dengan suara yang sangat lemah dan setengah berbisik.
” Oleh sebab itu……. maafkan aku…….. aku sering menyakiti ka….. kak” kata Konimpis semakin lemah.
” Tidak adikku…….. akulah yang salah, aku begitu angkuh dan hanya mementingkan diriku sendiri. Oleh sebab itu maafkanlah juga aku yang selalu kasar kepadamu…….. ” kata Lipan penuh penyesalan.
” Kakak…….. kita berdua memang bersalah, biarlah ini jadi pelajaran pada semua orang…… bahwa permusuhan tak berguna dan hanya membawa malapetaka ……… ” kata Konimpis berusaha untuk bertahan.
” Untuk itu permusuhan diantara kita…….., permusuhan diantara saudara-saudara kita Malesung dengan saudara kita Mongondow harus dihentikan. Dan ini tugas kamu untuk menghentikannya……. ini permintaanku yang terakhir”. Kata Konimpis dengan suara yang sangat lirih dan semakin lemah. Lipan tak seperti biasanya dengan wataknya keras tetapi setelah mendengar permintaan adiknya itu hatinya menjadi luluh dan tak kuasa menahan tangisnya. Untuk itu demi memenuhi permintaan adiknya itu, lipan lalu meyakinkan Konimpis bahwa ia akan berusaha keras untuk menghentikan permusuhan tersebut.
Pada saat nafas Konimpis mulai lemah, Lipan melihat seperti ada sesuatu yang akan disampaikan juga kepada lipan. Lipan lalu mendekatkan telinganya kearah mulut Konimpis.
” Kakak……. pergi…….. lah……. ke Mongondow……… carilah calon…….. isteri ku……. Yang…… aku…… tinggalkan……. Diatas sebuah bukit…….” Suara Konimpis tak terdengar lagi. Lipan mengguncang-guncangkan tubuh adiknya tetapi tetap saja tubuh konimpis tak bergerak lagi. Konimpis akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dipelukan kakaknya Lipan. Melihat adiknya Konimpis sudah meninggal, Lipan lalu mengangkat tubuh Konimpis dan berteriak dengan suara yang keras sekali untuk menumpahkan segala kesedihannya.
*****************************
AKHIR KEHIDUPAN LIPAN DAN KONIMPIS
Suara teriakan Lipan yang menggetarkan tanah disekitar puncak bukit Tareran terdengar hingga ketelinga para Tonaas dan pasukannya yang baru saja kembali dari pengejaran terhadap orang-orang Mongondow. Mendengar teriakan itu, mereka secepatnya kembali ke arah bukit Tareran. Di puncak bukit, mereka melihat Lipan sedag memeluk tubuh adiknya yang telah terkulai lemas. Kedatangan para tonaas dan pasukannya membuat Lipan menghentikan tangisannya. Lipan lalu menyampaikan pesan terakhir adiknya.
” Saudara-saudaraku……..maafkan adikku apabila ia membantu pasukan Mongondow memerangi kita. Tapi adikku tidak bermaksud demikian, ia juga menyampaikan pesan perdamaian kepada Raja Mongondow agar mengurungkan niatnya untuk menduduki tanah leluhur kita ini ” kata Lipan dengan muka yang diliputi dengan kesedihan.
” Untuk itu hentikanlah permusuhan ini sebab pertikaian dan permusuhan tidak dapat menyelesaikan masalah dan hanya menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Itulah amanat adikku Konimpis dan pesanku juga ”. Setelah menyampaikan pesan tersebut Lipan lalu pergi meninggalkan para tonaas dan pasukannya sambil membawa tubuh adiknya menuruni puncak Tareran ke arah barat. Sejak saat itu Lipan seperti menghilang ditela bumi.
Bukit tempat mereka menerima pesan perdamaian dari Lipan dan Konimpis kemudian dikenal dengan nama ”TAAR ERA” yang berarti ”pesan mereka” dan kemudian menjadi Kuntung Tareran.
Setelah menyampaikan pesan kepada para Tonaas dan terusan Malesung, Lipan lalu menguburkan Konimpis adiknya di tempat yang sekarang disebut Kobong Tinanak (Kebun Tinanak). Kata ”Tinanak” berasal dari kata ”Tinanaan” yang berarti ”tempat kuburan” karena konon disitulah Konimpis dikuburkan oleh kakaknya Lipan dan kuburan itu juga dipakai untuk menguburkan para Warany dan Waraney serta pasukan Mongondow yang tewas dalam pertempuran tapal batas di daerah pegunungan Tareran.
Selanjutnya setelah Konimpis dikuburkan, Lipan yang sangat bersalah dan menyesal dan ingin merubah sikapnya. Ia juga jadi sangat penasaran mengenai pesan adiknya yang terakhir bahwa adiknya meninggalkan seorang gadis disebuah bukit di daerah Mongondow. Lipan tak mengetahui persis nama bukit tempat gadis itu tinggal. Ia lalu berusaha mencari bukit itu ke daerah Mongondow. Berhari-hari ia mencari keterangan mengenai bukit itu, tetapi hampir semua orang yang ditemuinya tak memberikan keterangan yang jelas. Ia juga sempat bertemu dengan raja Bolaang-Mongondow dan menyampaikan pesan perdamaian dari adiknya itu. Sang raja terlihat sangat sedih mendengar Konimpis sahabatnya sudah meninggal. Belum lagi kesedihannya terhadap kekalahan para pasukannya di pegunungan Tareran. Yang banyak menimbulkan korban jiwa para prajuritnya sehingga membuyarkan ambisinya untuk merebut tanah Malesung.
Setelah menyampaikan pesan tersebut kepada raja, akhirnya Lipan kembali kepegunungan Tarean. Ia lalu menyempatkan diri mengunjungi kuburan adiknya. Pentesalanpun menyelimuti dirinya karena pesan terakhir adiknya belum dapat ia laksanakan. Akibat penyesalannya, sudah berhari-hari ia tidak makan dan minum.
Pada saat tubuhnya sangat lelah dan haus, ia melihat ada seorang anak kecil seding batifar saguer / kumeet (mengambil air nira) ia memohon agar anak tersebut memberinya minum saguer. Melihat yang meminta itu adalah Lipan yang didengarnya adalah seorang yang jahat yang membunuh adiknya sendiri, anak itu menjadi takut. Anak itu lalu turn melalui batang daun Nira (aren) yang menjulur kearah telagah (kolam) dan menjatuhkan dirinya kedalam telaga. Melihat anak itu jatuh kedalam telag, Lipan lau memasuki telaga tersebut untuk menolongnya. Ia lalu menghampiri tempat dimana anak itu jatuh. Tetapi tiba-tiba anak itu dari dasar sungai dengan kolombik (keong) di tangan menusuk telapak kaki Lipan. Lipan menjadi sangat terkejut merasakan kakinya menusuk sesuatu. Pada saat tubuhnya membungkuk untuk melihat kakinya yang tertusuk itu, secara tiba-tiba anak itu keluar dari dasar kolam dan menggores ujung keong yang tajam itu keperut Lipan. Lipan tak menyangka bahwa ia akan ditusuk dengan keong oleh anak kecil itu. Tusukan keong kekakinya membuat hilangnya kekebalan tubuh dan kesaktiannya ditamba lagi sudah berhari-hari ia tidak makan dan minum. Akhirnya Lipanpun menemui ajalnya dengan perut terburai keluar ditelaga itu.
Inilah akhir dari kehidupan Lipan dan Konimpis yang melegenda dan menjadi cerita turun-temurun penduduk Tareran. Pembuktian bahwa cerita legenda tersebut pernah hidup, terlihat pada batu yang dikenal oleh penduduk desa Rumoong Langsot dengan nama ”Kopat Lipan” yang artinya langka kaki Lipan yang berbentuk seperti jejak kaki dengan ukuran besar yang lokasinya disekitar sungai (kali/kuala) Memeak diperbatasan wilayah kepolisian desa Langsot dan Rumoong Atas sekarang. Juga batu Konimpis diperkebunan yang disebut kebun Konimpis wilayah kepolisian desa Wiau Lapi.
**********************************************************
Setelah pertempuran di kaki pegunungan Tareran berakhir, para Tonaas dan pasukannya termasuk Tonaas Mamarimbing, Sage dan Palanditerus menuju kearah barat bersama-sama dengan para Waraneydan Warany. Mereka terus berjuang menghalau orang-orang Mongondow dari tanah Malesung bagian Selatan. Beberapa tahun kemudian para tonaas dan pasukan Malesung dapat mengusir serta menduduki sebagian besar tanah Malesung bagian selatan hingga ke Kuala Rano i apo yaitu sungai di neg’ri Buyungon-Amurang.
Pertikaian yang berlangsung antara pasukan Malesung dengan pasukan Kerajaan Bolaang-Mongondow berakhir dengan perdamaian, dan ditetapkan tapal batas daerah masing-masing yaitu diseberang bagian barat Kuala Rano i apomerupakan Wilayah kekuasaan kerajaan Bolaang-Mongondow, dan disebelah timur & selatan kuala Rano i apo merupakan wilayah Malesung.
Setelah perdamaian tercipta antar kedua suku bangsa itu, Bogani Bantong dan Ojotang lalu mengundurkan diri dari jabatan mereka sebagai pemimpin pasukan kerajaan dan hidup dengan tenang dipegunungan Mongondow di daerah yang sekarang disebut Bilalang.
Begitupun para tonaas, teterusan, walian serta para warany dan waraney kembali ke daerah asal masing-masing guna membangun tanah Malesung yang telah di porak-poranda akibat peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Konon Tonaas Mamarimbing [Dotu Ma’abe] dan Tonaas Palandi (Dotu Pisek) dan Tonaas Sage (Dotu Seke’) kembali ke tempat leluhur mereka di Tounkibut dan dari sana mereka lalu ke beberapa daerah untuk membangun neg’ri- neg’ri baru Tountemboan di tanah Malesung yang subur.
- Sage lalu membangun pemukiman di pawuwukan yang sekarang bersama Desa Wuwuk kec. Tareran.
- Waany, Lampus dan Tambelaka membuka pemukiman di Lowian yang sekarang disebut Desa Rumoong atas kec. Tareran.
- Palandi membangun pemukiman di daerah pantai Tumpaan yang sekarang bernama Desa Matani kec. Tumpaan.
- Tonaas Kariso lalu mendirikan pemukiman di Tounkibut bawah yang sekarang disebut Kawangkoan.
- Tonaas Kopero dan Pandeirot kembali ke Kay Wasian yang sekarang dikenal dengan nama Desa Tombasian Atas kec. Kawangkoan.
- Tonaas Karengis dan Piai membangun neg’ri Kayuwi kec. Kawangkoan.
- Pada masa selanjutnya dari anak-cucu para Tonaas Kaywasian (Tombasian Atas) yaitu Tonaas Mamoto dan Kaparang lalu membangun pemukiman didaerah pesisir teluk Amurang yang sekarang dikenal degan Desa Pondang Tombasian Bawah. Dan anak-cucu dari para tonaas Langkowan yaitu Tonaas Matindas dan lain-lain membangun beberapa neg’ri di Langkowan yang sekarang disebut Langowan.